Bagian 23

8.2K 1.1K 34
                                    

Saka seperti biasa masuk kantor lalu menyuruh sekertarisnya yang baru menata jadwalnya. Ada banyak pertemuan penting, proposal yang harus di tanda tangani atau lembar berkas laporan yang harus diteliti. Saka berubah banyak. Seorang anak muda yang gemar bersenang-senang menjadi lelaki dewasa setelah ayahnya meninggal. Ia berusaha membuktikan kalau perkataan ayahnya bahwa Saka tak berguna adalah salah.

Di sela pekerjaannya yang sibuk, pikirannya malah dipenuhi Naima. Bohong kalau ciuman Juan dan Naima tidak mengganggu, Saka merutuki adegan itu. Marah jelas tapi tak punya hak jika ingin mengamuk atau menghancurkan kepala Juan. Tinggal hitungan hari kabar pernikahan Juan dan Naima akan datang. Saka harus siap lahir batin melepaskan Naima, mengikhlaskan perempuan itu bersanding dengan pria lain. Nyatanya hal itu sungguh sulit, sebagian besar hatinya masih sangat menginginkan Naima, sebagian kecil hati nuraninya menjerit menyampaikan bahwa ia harus tahu diri.

Tok...tok...tok...

"Masuk."

Sekertarisnya yang bernama Donna itu yang membuka pintu. "Pak, ada seorang pria paruh baya yang pingin ketemu bapak. Dia mengaku dari Panti Asuhan Kasih Bunda."

"Apa?" ucapnya sembari membelalakkan mata.

"Saya sudah bilang kalau tidak buat janji, Bapak tidak bisa ditemui tapi orang itu ngotot."

"Suruh dia masuk."

Donna terkejut namun tak berani membantah. Ia undur diri dan segera menutup pintu.

Saka ingat Kasih Bunda adalah nama panti asuhan tempat Naima pernah bernaung. Panti itu telah terbakar lama hingga sulit ditemukan data anak-anak yang ada di sana. Dulu sekali Saka sempat berniat jahat, ingin mengorek informasi tentang orang tua Naima dan mempergunakannya untuk membuat Naima malu tapi untungnya niatnya tak terlaksana sebab Data tentang siapa orang tua Naima telah hangus terbakar bersama panti.

Kini di hadapannya berdiri seorang lelaki paruh baya yang tubuhnya kurus dan rambutnya sebagian besar sudah memutih. Berdiri dengan kaki gemetaran sembari menatapnya dengan tatapan lemah khas seorang lelaki yang dipenuhi kesepian dan rasa bersalah.

"Silahkan duduk Pak."

Pria yang belum menyebutkan namanya itu duduk sembari menyeka keringatnya dengan sapu tangan. "Maaf saya mengganggu Anda yang sepertinya sibuk sekali."

"Ah tidak Pak. Bapak mau minum sesuatu?"

"Tidak. Saya sudah minum sebelum ke sini."

"Maaf. Bapak kemari ada keperluan apa ya? Apa betul kalau bapak dari panti asuhan Kasih Bunda?"

Si pria patuh baya itu agaknya gugup, tangan kanannya gemetaran. "Perkenalkan Nama saya Munaf. Saya sebenarnya bukan dari panti asuhan Kasih bunda. Saya kemari karena mendapat informasi jika Anda mencari asal usul dari salah satu anak yang tinggal di sana."

"Iya dan itu sudah lama sekali."

"Apa bapak mencari asal usul anak dari foto ini." Pria itu menyodorkan sebuah foto yang memperlihatkan anak perempuan yang berusia lima tahun. Saka berusaha tenang menerimanya namun ketika mengamati foto itu dengan baik matanya seperti mau keluar. Ini foto Naima waktu kecil, foto yang sama dengan foto di ruang tamu rumah keluarga Hutomo.

"Bapak dapat dari mana foto ini? Bapak kenal dengan anak ini?"

"Dia putri saya yang belum sempat saya beri nama, yang saya berikan ke panti ketika masih bayi."

Berarti orang yang ada di hadapannya ini adalah ayah kandung Naima. "Bapak tidak berbohong kan?"

"Tidak. Dia putri saya. Saya ke sini karena orang yang saya tanyai keberadaan putri saya mengatakan kalau Anda juga mencarinya, mencari asal usulnya. Apakah Anda tahu keberadaan putri saya dimana?"

MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang