Menganggap tidak penting, menganggap jika pengakuan ayah kandungnya beberapa hari lalu harus di enyahkan namun tangis pria paruh baya itu menghantui malam Naima. Asal usulnya bukan momok menakutkan hingga harus di usut tuntas, Naima juga berusaha jauh-jauh rasa penasarannya mencari tahu satu tersangka lain yang telah melahirkannya. Ia harus melupakan, kehidupannya harus dilanjutkan tak ada gunanya menengok ke belakang. Ia hidup sebagai si sulung Hutomo namun seakan hati nuraninya menjerit tak terima.
"Ra, kamu pernah benci sama bapak kamu? Karena dia, kamu menikah dengan lelaki tua terus harus dibenci sahabat sendiri juga selama beberapa tahun."
"Maunya juga begitu tapi gak bisa. Bagaimana pun bapak sudah gedein aku, merawat aku, nyekolahin aku, banting tulang buat ngidupin aku."
Kasusnya dengan Clara tentu berbeda. Orang tuanya tak punya andil apa pun semenjak ia lahir. "Aku harus bersikap bagaimana ya Ra kalau orang tua kandungku muncul."
"Memang mreka sudah ketemu sama kamu?"
Naima mengangguk lemah. "Salah satunya, lebih tepatnya ayahku."
Clara menahan nafas karena diberi tahu sebuah rahasia, yang mungkin El saja tidak tahu. "Terus, bagaimana respon kamu?"
"Aku meninggalkannya sebelum dia menjelaskan apa pun."
"Terlihat jahat tapi ayahmu pantas mendapatkannya."
"Tapi aku penasaran juga siapa ibu kandungku, mungkin ayahku tahu. Bagaimana aku bisa sampai ada, apa aku kesalahan seperti hal-nya anak panti lainnya?"
"Apa gunanya tahu jika hanya mendatangkan sakit hati tapi kamu pasti penasaran juga. Kamu termasuk beruntung karena orang tuamu masih hidup dan datang kepadamu sendiri. Ada anak lain yang hidup tanpa sanak saudara, bahkan sampai akhir hayatnya tak tahu keluarganya siapa. Ada juga yang lebih buruk seperti janin yang digugurkan atau terlahir cacat karena berusaha dimusnahkan untuk menutupi aib."
Clara benar, harusnya Naima tak mengingat luka-nya saja namun juga keberuntungannya. Dia diangkat oleh keluarga berada dan terhormat. Tak ada salahnya berterima kasih pada orang tua kandungnya karena membiarkannya hidup. Mungkin ada abiknya ia menghubungi Saka, sekaligus menegaskan bahwa pikirannya telah berubah.
***********
"Harusnya kamu tidak menemaniku ke sana Saka. Aku berusaha menjaga perasaan Juan dengan menghindarimu."
Setelah perdebatan alot mereka, akhirnya Saka turut serta. Naima tak dapat melawan seabb alamat Munaf ada di tangan Saka. Lelaki itu tak akan memberitahunya jika tidak di ajak. Saka sendiri tak mau membiarkan Naima sendiri lalau terbawa emosi ketika mengunjungi rumah sang ayah kandung.
"Apa Juan tahu tentang ayah kandungmu?" Mata Saka memicing ketika melihat Naima terdiam. "Ku rasa tidak."
"Jangan sok tahu."
"Rasa sukamu pada Juan tak terlalu besar hingga membiarknnya tahu rahasiamu."
"Juan menerimaku apa adanya. Dia tidak pernah ingin tahu asal usulku, karena dia mencintai diriku. Kali ini aku tak akan salah memilih pasangan."
Kalimat itu memang dimaksdu menyindir Saka. Saka menyesal pernah berniat mempermalukan Naima. "Kesempatanku belum hilang selama lonceng pernikahan belum dibunyikan."
Naima hendak menyanggah dengan kata-kata yang lebih pedas namun terlambat karena mobil mereka sudah menepi. Kita sepertinya sudah sampai. Benar itu nomor rumahnya. Naima melihat sebuah tembok yang di hiasi angka tiga puluh lima. Rumah ayah kandungnya masuk ke jajaran kompleks perumahan yang asri. Dia merapikan penampilannya dulu sebelum masuk ke dalam rumah.