Saka belum bisa menerima kenyataan bahwa yang selama ini ia cintai berpaling tanpa menoleh lagi kepadanya. Masalahnya Saka masih merasa bahwa Naima adalah wanita yang sama enam tahun lalu. Waktu dan masalah memang hal yang paling ampuh mengubah watak seseorang apalagi setelah luka yang sempat Saka beri. Saka tak akan menghancurkan diri karena sakit hati namun kenapa tangannya berkhianat. Ia meraih wiski yang di wadahi botol kristal besar lalu menuangkannya pada gelas sloki. Mabuk bukan penyelesaian namun setidaknya meminum ini mampu menerbangkan otaknya agar masalahnya hilang sesaat.
Saka menarik nafas ketika teringat apa yang Naima ucap. Dadanya sesak dan juga tersayat sakit. Ingin menangis namun takut terlihat seperti seorang banci, namun ia bukannya telah menjadi banci ketika meninggalkan Naima dan janin mereka. Saka kemudian tertawa perih. Begitu susahnya ia melupakan kesalahannya dahulu.
Yelsi yang memakai piyama tidur Cuma bisa berdiri sembari memeluk dirinya sendiri. Putranya jarang terlihat rapuh. Setelah bertemu Naima, Yelsi sudah melihat Saka mabuk untuk kedua kalinya. Perempuan itu masih sanggup membuat Saka menderita. Sebagai ibu, ia harusnya bertindak. Yelsi mengambil botol Saka yang tergeletak di meja bar lalu menuang semua isinya ke wastafel.
"Apa yang mamah lakukan?!"
Terlambat sudah, Saka yang berjalan sempoyongan tak mampu menyelamatkan wiskinya.
"Menghentikanmu untuk merusak diri sendiri!" ucap Yelsi tegas dan keras, walau malam cukup larut. "Kenapa kamu begini? Apa yang terjadi?"
Saka mulai menunduk dan memijit pelipis. Menghentikan air matanya yang sebentar lagi mengalir. Bukan bermaksud manja atau tukang mengadu. Ia tak tahu harus mengungkapkan isi hatinya ini ke siapa. "Saka bersalah, Saka punya banyak dosa ke Naima."
Cerita tentang Naima yang pernah mengandung, bunuh diri, dan keguguran meluncur brgitu saja layaknya pengakuan dosa. Yelsi hanya bisa jadi pendengar, mecoba menahan geraman amarah dan juga jeritan tangis yang siap meluncur. Saka berani berterus terang, Yelsi mengapresiasikan keberanian anaknya dengan memejamkan mata.
"Kesalahanku tidak termaafkan namun aku mencintainya."
Cinta memang egois, bahkan perasaan itu bisa menyingkirkan segala logika. Saka putranya yang biasanya kuat, tegar, berdiri dengan gagah kini menangis di pangkuannya. Yelsi berusaha menjadi pendengar, karena pembelaannya terhadap Saka dulu berbuah petaka. Kini ia sangat butuh kehadiran almarhum suaminya. Yelsi tak sanggup jika berbagi dosa sang putra sendirian.Kamu sudah mengatakan itu pada Naima?
Saka menggeleng, tapi aku yakin Naima merasakan betapa besar cinta yang ia miliki namun perempuan itu memilih pria lain. Itu tindakan wajar
"Lalu apa yang kamu mau Saka? Kamu memberinya luka yang bertubi-tubi lalu kamu mengharapkan dia kembali. Bukankah itu egois sekali. Naima takut bila disakiti untuk kedua kali wajar dia memilih pergi."
"Aku tidak bisa membiarkannya pergi. Aku tidak akan menyakitinya lagi."
"Kamu bertahun-tahun bersama Paula dan merelakan dia hidup bebas. Kenapa sekarang tidak bisa? Apa kamu kira setelah kamu gagal maka Naima akan datang lalu menambal hati kamu?" Entah kemarahan Yelsi datang dari mana. Naima pernah menjadi bagian dari keluarga ini, pernah menjadi putri yang tak pernah Yelsi miliki. Setidaknya Yelsi turut sakit jika Naima tersakiti, walau sang putra sendiri pelakunya. Naima punya kehidupan sendiri dan dia memutuskan untuk tidak mengikut sertakan kamu di dalamnya.
"Aku mencintainya dan aku juga yakin jika cinta Naima masih ada."
Yelsi memegang kepala sang putra dan mengangkatnya agar menatap ke arah Yelsi langsung. "Mungkin cinta itu masih ada. Naima dan kamu pernah menghabiskan hidup bersama, pernah saling mencintai namun luka itu juga ada dan tak bisa dilupakan. Luka itu seperti cekungan curam. Ketika kita pernah terjatuh di sana, kita tidak akan dekat-dekat lagi bahkan melewatinya walau cekungan itu telah ditambal dan dihiasi pepohonan rindang dan juga bunga yang indah."