seventeen

1.6K 326 62
                                    



Jeno tidak bisa berdiri tenang. Berjalan kesana kemari bagai angsa milik Jungwoo minggu lalu kala pasangannya tak kunjung pulang.

Perkataan Sungchan di malam Natal terus terngiang di telinganya.

Sedekat apa hubungan Choi San dengan Haechan sampai Sungchan bisa berucap dengan keyakinan yang begitu besar.

Kemungkinan terburuknya, mungkin Choi San sudah menggeser posisinya di hati Haechan.

"Aku bisa gila!" erangnya frustrasi. Mengundang kekeh mengejek dari bibir sang Kakak yang baru saja datang.

"Ada apa dengannya?" Jaehyun mendudukkan diri di samping Ten, "Suaranya terdengar sampai ke luar."

"Masalah hati, Jaehyun."

"Oh? Masalah hati? Bukankah hatinya sudah dimiliki Seo Haechan seorang?"

"Iya. Sayang, terlalu pengecut untuk maju."

Jaehyun tertawa. Mengiyakan ucapan istrinya.

Ten dan kata-katanya yang tajam. Wanita itu tak pernah pandang bulu ataupun berpikir dua kali dalam mengutarakan pendapat.

Salah satu alasan di balik hubungan buruknya dengan sang ibu mertua.

Percayalah, Ten hampir membuat Jaehyun berdiam di balik jeruji di hari pertama mereka bertemu. Memberatkan Jaehyun dengan tuduhan pencurian hanya karena Jaehyun tak sengaja menyenggol tasnya.

Bahkan tanpa ragu mengkritik masakan Nyonya Jung yang dirasanya tidak enak.

Beruntung. Kejadian itu terjadi setelah mereka menikah. Dan perceraian merupakan aib bagi nama keluarga.

Jadi, Ten dapat menjaga kedudukannya di rumah itu dengan aman dan nyaman.

Karena itu Ten jatuh hati pada Haechan. Rasanya seperti berkaca pada sosoknya di usia muda.

Bedanya, jika ia dulu memilih bersembunyi di balik punggung orangtuanya, Haechan membuka lebar semua akses. Secara terang-terangan menunjukkan diri pada dunia.

Tidak ada yang buatan, semua sisi Haechan diberikan langsung.

"Aku takut ia akan melakukan hal gila pada akhirnya, Jaehyun. Salahkah bila aku khawatir?"

"Tidak. Anak itu memang bisa melakukan tindakan gila kapan saja."

Jaehyun benar. Jeno pasti sudah gila.

Duduk tenang sambil menyesap teh di sifa ruang tamu keluarga Choi. Ditemani Lia yang tak lepas memandang wajahnya.

"Apakah tehnya enak?"

"Ya. Kau yang membuatnya?"

"Bukan. Bibi Kang yang membuatnya," Lia menggeleng, "Ayahku membeli banyak dari seorang saudagar Cina. Aku bisa memberikan beberapa kotak padamu jika kau mau."

"Aku akan senang sekali, Nona Choi."

Lia tersipu. Dampak dari senyum seorang Jung Jeno memang luar biasa. Membawa kupu-kupu ke setiap inchi tubuh.

"Nona Choi, sebenarnya aku ingin meminta pertolonganmu terkait sesuatu."

"Ya? Sebutkan saja, Tuan Jung. Aku pasti akan menolongmu."

"Jadi ini terkait kakakmu..."

•••

Geram Haechan terdengar memenuhi seisi rumah. Mengejutkan Aera yang sedang tertidur sampai anak itu menangis keras memanggil ibunya.

Jaemin datang tergopoh-gopoh. Melotot pada Haechan yang hanya bisa tersenyum polos.

Kertas-kertas yang tadinya sudah dilipat rapi dan dimasukkan ke dalam amplop ia keluarkan kembali.

Dibaca ulang sekali lagi untuk memastikan tidak ada satu pun cacat.

Haechan tidak bisa fokus. Penulis muda ini gagal memusatkan pikiran setelah San datang tadi pagi.

"Haechan, Jeno datang untuk menemuimu!"

Bungsu Seo melangkah cepat ke arah sumber suara. Melewati Mark yang kebingungan.

Tidak ada senyuman yang menyongsong Jeno seperti biasanya. Haechan berdiri tegak. Menjadi manifestasi mungil dari sosok mengintimidasi Seo Johnny.

"Kau, kan?" tanyanya tanpa basa-basi.

Jeno mengernyit bingung, "Aku?"

"Kau yang membujuk Choi Lia supaya Kak San dilarang menemuiku, kan?"

"Iya," Jeno spontan menjawab, "Tunggu, kau mengetahui hal ini darimana, Haechan?"

"Tidak penting aku tahu tentang ini darimana. Apa maksudmu, Jeno?"

"Kau marah? Kau marah karena aku melakukan itu?"

"Ya."

"Astaga, kau sudah jatuh hati pada Choi San rupanya!"

Haechan tertegun. Tidak bisa mempercayai apa yang baru saja keluar dari bibir sang kekasih.

"Kau...sekarang kau bahkan meragukan hatiku, Jeno?"

"Bukan begitu maksudku, Sayang. Kau milikku dan pria itu mendekatimu!"

"Aku milikmu?"

Wanita mungil itu menggeleng tak percaya. Meremat kain hanboknya erat lalu melayangkan tatap tajam pada Jeno.

"Jika kau sebegitu takutnya, nikahi aku! Kau tidak bisa seenaknya menyebutku sebagai milikmu tanpa mengucap janji di depan pendeta!"

"Haechan..."

"Apa? Aku harus menunggu lagi? Berapa lama lagi? Aku sudah menunggu selama setahun, Jeno! Sampai kapan kau akan merasa malu untuk berjalan di sampingku?"

"Seandainya kau sama seperti wanita-wanita bangsawan di luar sana mungkin kita tak perlu seperti ini!"

Skakmat.

Haechan tersedak tangisnya sendiri. Menabrak pundak Jeno dalam langkahnya keluar rumah.

"Malu?" sentak Mark, "Malulah karena merasa malu untuk bersama adikku, Jung."

Mengusir. Gestur Mark jelas merupakan ucapan 'silahkan keluar' secara tidak langsung.

Ia berpapasan dengan San di luar. Pria itu tampak khawatir melihat Haechan melangkah menuju hutan.

"Apa yang kau lakukan di sini, Tuan Choi? Bukankah keluargamu melarangmu bertamu kemari?"

"Bukan urusanmu, Tuan Jung."

"Akan kulaporkan kau pada ayahmu."

"Laporkan saja. Aku tidak peduli," San menyahut acuh, "Pengorbanan selalu dibutuhkan untuk meraih kebahagiaan, Tuan Jung."

"Apa?"

"Kurasa ku seharusnya mengetahui hal itu."

Surrender (Nohyuck)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang