nineteen

1.8K 332 28
                                    



Lamaran San seharusnya menjadi kabar gembira. Namun senyum enggan mampir di wajah Haechan saat wanita itu duduk di meja makan esoknya.

Takut. Ia takut.

Putra kedua Jung memenuhi isi kepalanya. Haechan mencintai Jeno.

Sangat. Bahkan ketika pria itu tanpa sadar melukainya.

Tapi ia tidak bisa terus menerus begini. Terjebak dalam lingkaran setan yang dibuat oleh mereka berdua.

Haechan lelah mengalah, tapi terlalu takut untuk menyerah.

"Kurasa kau baru saja dilamar?" Jaemin berdiri di ambang pintu.

"Darimana kau tahu?"

"Baekdu bilang padaku."

Haechan terkekeh. Bergeser, memberi tempat untuk Jaemin yang ternyata diekori Yangyang.

Ketiganya duduk di atas kasur. Hanya diam tanpa bicara apa-apa. Jaemin paham, Haechan butuh waktu. Yangyang mengerti bahwa diam mungkin pilihan terbaik.

"Jaemin, Yangyang, bolehkah aku meninggalkan Jeno seperti ini?"

Jaemin dan Yangyang mendongak. Terluka oleh tatap yang diberikan Haechan. Bukan pada mereka, tatap itu tertuju pada vas di ujung ruangan.

Mawar di dalamnya sudah hampir layu. Entah kapan mawar itu datang. Jaemin tidak begitu ingat.

Itu adalah mawar terakhir yang diterima Haechan dari Jeno.

Merindu. Perasaan yang dapat mereka tangkap dari cara Haechan memandang. Wanita mungil itu mendamba kehadiran kekasihnya.

"Bolehkah aku bahagia di atas penderitaannya seperti ini?"

"Boleh. Tentu saja boleh," satu demi satu tetes air mata menghiasi pipi Jaemin.

Ia mengenal Haechan dengan baik. Mengingat betul bagaimana saudara iparnya itu balik mencemooh sanak saudaranya di Seoul.

"Apa masalah kalian? Iri karena Jaemin menikahi seorang pria hebat seperti kakakku? Ck, pria hebat akan bersama wanita hebat. Itulah alasan kenapa kalian semua tak pantas!"

Haechan berucap lantang. Menarik Jaemin menuju kereta kuda yang akan membawa mereka ke kota kecil tempat mereka tinggal saat ini.

Jaemin tak mengerti mengapa hari itu Haechan bisa begitu bangga. Jaemin hanyalah seorang wanita biasa.

Menyedihkan rasanya melihat Haechan seperti ini.

"Aku seharusnya ada di sisinya. Menemaninya menghadapi keluarganya. Pasti ini berat bagi Jeno..."

Kepala Yangyang tertunduk. Ia, bagaimanapun juga, pernah melewati situasi yang sama.

Beruntung, Sungchan bersedia melangkah keluar.

Sungchan sering bercerita pada Yangyang tentang cinta pertamanya. Seorang perempuan liar yang keras kepala dan baik hati.

Ketika Haechan menyapa dan merangkulnya erat, melihat bagaimana Haechan menatap garang Nyonya Jung tanpa rasa takut. Yangyang tahu. Bungsu Seo itu orangnya.

Tapi mengapa dunia tidak adil pada manusia sebaik Haechan?

"Jeno...aku tidak yakin ia punya keinginan untuk bertarung bersamamu," ucapnya tenang, "Kau juga sudah menderita, Haechan."

Jaemin mengangguk setuju, "Sudah saatnya berhenti."

Senyuman Jaemin dan usapan Yangyang di punggungnya benar-benar menenangkan.

Haechan bersyukur. Kakaknya menemukan seseorang seperti Jaemin. Sungchan menemukan pendamping seperti Yangyang.

"Apa-apaan ini? Kalian mengadakan sesi curhat tanpaku?"

Ah, iya, Doyoung yang terlupakan.

•••

Bungsu Seo memberanikan diri untuk berdiri di depan kediaman keluarga Jung. Mengetuk pintu dengan berbekal sejumput keberanian.

Dan juga secuil harapan.

"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?"

"Ada yang ingin kubicarakan dengan putramu, Nyonya Jung."

"Putraku?"

"Ya. Jung Jeno."

Nyonya Jung berdecak, berbalik untuk memanggil putranya, "Jeno, Nona Seo datang mencarimu!"

Jeno muncul. Terkejut dan kilat bahagia terlihat di matanya. Setelah sekian lama kehadirannya ditolak, Haechan sendiri yang datang padanya.

"Nona Seo! Ada apa?"

"Bisa kita bicara sebentar, Tuan Jung? Di tempat biasa?"

"Tentu saja. Biarkan aku berganti pakaian sebentar."

"Ya. Aku akan menunggu di sini."

Tak butuh waktu lama, keduanya kini bersisian di depan danau. Haechan meletakkan kepalanya di bahu Jeno.

Oh, betapa ia merindukan momen seperti ini.

"Jeno."

"Iya, Sayang?"

"Kau mencintaiku?"

"Tentu saja. Kenapa kau menanyakan hal yang sudah jelas?"

"Aku minta maaf."

"Hah?"

"Kita menyerah saja, ya?"

Pertanyaan itu dilontarkan bersama sebuah senyum. Jeno menjauh, memilih untuk berdiri di hadapan sang kekasih.

"Apa?"

"Maaf, Jeno. Aku tidak bisa lagi. Aku tidak bisa bertahan sementara kau takut untuk berjuang."

Setiap kata yang diucap membawa luka. Baik untuk Haechan maupun untuk Jeno.

"Maafkan aku karena kita tidak bisa jadi selamanya, Jeno. Maaf karena aku tidak akan menemanimu lagi. Maaf karena setelah ini kau harus menghadapi dunia sendirian."

"Di sini, aku akan mengembalikan hatimu dan mengambil hatiku kembali."

Telapak Jeno diraih. Sesuatu diletakkan di sama. Diiringi sebuah kecupan lembut nan singkat di bibir.

"Jeno, jangan lagi hidup untuk memenuhi ekspektasi orang-orang. Hiduplah untuk dirimu."

"Berbahagialah, Jung Jeno."

Haechan pergi. Haechan benar-benar melangkah pergi.

Meninggalkan Jeno bersama kelopak mawar terakhir yang berhasil bertahan.

Surrender (Nohyuck)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang