"Jisung, kau akan pergi?"
"Hm."
"Sungchan, kau ikut?"
"Ya."
Entah apa salah Jeno. Sejak Haechan berbalik memunggunginya setelah tak lupa menyunggingkan senyum ramah pada Jaehyun, kedua adiknya menjauh.
Tidak adil. Padahal ia juga harus berdiri menerima seribu satu nasehat Jung Jaehyun sampai kakinya pegal.
Ayahnya sempat bertanya. Tapi Jaehyun, kakaknya yang terlalu baik, menggeleng. Diterima sebagai kode bahwa itu hanyalah masalah sepele.
Jeno ingin sekali berterima kasih seandainya Jaehyun tidak melangkah pergi. Memutuskan untuk menemui keluarga Seo mewakilinya.
Maka Jeno yang bosan berkelana di antara deret-deret buku tebal di rumahnya. Pilihannya jatuh pada sebuah buku dengan judul manis yang terukir apik.
The Perks of Falling in Love
Matanya meneliti setiap baris. Beberapa tertandai oleh goresan pena yang khas.
Ini buku bacaan Jisung. Untuk apa adiknya membaca buku seperti ini?
Salah satu bagian buku ditandai lebih tebal daripada yang lainnya. Mau tak mau menarik Jeno untuk membaca.
'Jatuh cinta bukanlah sebuah kesalahan. Salah ada pada keadaan. Salah ada pada waktu. Tapi tidak pada cinta. Tidak juga pada insan yang jatuh.
Jatuh cintalah sejatuh-jatuhnya. Karena Tuhan memberkahi kita dengan hati yang perasa.'
"Mengapa Jisung menandai ini?" ditutupnya buku itu.
Selarik huruf yang ditulis menggunakan tinta emas menarik perhatian.
Seo Haechan.
"Buku ini?" Jeno mengembalikan buku ke tempatnya. Tidak ingin Jisung sadar bahwa bukunya sempat berpindah tangan, "Hasil karya wanita aneh itu?"
Sepertinya dugaan Jeno benar karena tepat di halaman pertama, tanda tangan Haechan tertera apik.
Jeno mendudukkan diri di sofa. Buku itu kembali ke pangkuan.
Mencari tentang Haechan tidak sulit. Wanita liar itu sangat populer, entah ia menyadarinya atau tidak.
Abai pada cemooh orang dan kritik masyarakat. Seo Haechan teguh pada prinsip dan tujuan hidupnya untuk menjalani hidup sebaik mungkin. Sebahagia mungkin.
Di luar dugaan, berteman baik dengan istri Hendery. Xiaojun memuji Haechan habis-habisan saat Jeno berkunjung ke rumahnya kemarin.
"Anak yang sangat manis dan menyenangkan. Kau harus mengenalnya lebih dekat. Dia bahkan berhasil membuat Hendery menari!"
Ekspresi jengkel Hendery tertangkap jelas. Malu sekaligus tak menyangkal.
"Menyenangkan?"
"Ya. Haechan memang menyenangkan," Hendery mengangguk setuju, "Kadang terlalu menyenangkan."
Pintu depan terbuka. Jeno buru-buru berdiri untuk mengembalikan bukunya. Sayang, Jisung menangkap gerakannya lebih dulu. Terkekeh pelan lalu mengedikkan bahu acuh.
"Baca saja jika ingin. Aku bukan lagi bocah kecil yang akan menangis saat mainanku direbut."
"Aku tidak berniat membacanya."
"Hanya melihat huruf-huruf di dalamnya?" ledek Jisung, "Baiklah. Terserah padamu saja."
Sungchan mengekor di belakang Jisung. Kemeja yang ia kenakan tertarik kesana kemari.
"Ada apa dengan kemejamu?"
"Kemejaku baik-baik saja."
Jaehyun muncul terakhir. Senyum lebarnya yang khas diumbar. Bahkan mengejutkan istrinya yang datang untuk menyambut.
"Ada apa denganmu?" Ten menepuk pundak suaminya beberapa kali. Berusaha memperoleh kesadaran Jaehyun.
"Kita mendapat undangan makan malam, Sayang."
"Oh ya? Kapan?"
"Esok malam. Di kediaman keluarga Seo."
Tuhan. Ambil saja nyawa Jeno sekarang juga.
■■■
Suara lonceng yang dibunyikan tiga kali membawa kaki Johnny ke pintu. Membuka pintu kepada tatap penasaran.
Jeno mundur beberapa langkah. Terintimidasi oleh sosok tinggi besar di hadapannya.
"Jaehyun," berbeda dengan tampilannya, sapaan yang keluar begitu ramah, "Sepertinya kau datang terlalu cepat. Masuklah."
Jaehyun melangkah masuk. Diikuti Ten dan putra mereka Hyun, lalu ketiga adiknya. Jisung tampak terhibur melihat bagaimana rambut sebahu Johnny bergoyang mengikuti irama langkah kakinya.
Mayoritas pria memangkas rapi rambutnya. Menjadikan Johnny sosok spesial.
"Oh? Tolong segera bawa makanannya ke meja. Tamu kita sudah datang. Tolong panggilkan Mark dan Jaemin juga."
"Baik, Nyonya."
Doyoung menyambut ramah. Menyerahkan putranya pada Haechan dan mempersilahkan mereka semua untuk duduk.
Mark dan Jaemin juga muncul dari lantai atas. Aera tertidur lelap dalam gendongan ibunya.
"Menu sederhana. Tidak apa-apa kah?"
"Tidak masalah sama sekali," Ten tersenyum. Tak bisa melepas pandangan dari semangkuk besar seollongtang yang tersaji di atas meja bersama kimchi dan lauk pauk lainnya.
"Silahkan mulai makan."
Makan malam yang berbeda.
Tidak ada pembicaraan bertopik tajam. Hanya candaan dan ramah tamah yang dilontarkan.
Jaehyun bercerita tentang bisnis penginapannya dan Johnny mendengarkan dengan baik. Ten, Doyoung, dan Jaemin juga menjadi akrab dengan cepat.
Mark membuka pembicaraan dengan Jeno dan keduanya berbagi pola pikir yang sama.
"Aku sudah selesai," Haechan menoleh ke arah Jaemin, "Makanlah. Biar Aera bersamaku."
Poin lain yang berbeda adalah ini. Di kediaman Jung, tangis bayi dianggap merepotkan. Jadi biasanya Hyun akan dititipkan pada pelayan sementara para orang dewasa menikmati makan malam.
Kali ini, Hyun dapat tertawa gembira. Melonjak di pangkuan ibunya setiap kali sesendok makanan disuap ke dalam mulutnya.
Sungchan, Haechan, dan Jisung bertukar peran dengan begitu leluasa. Bergantian memangku Youngjo di sela kegiatan makan.
"Sungchan, kutitipkan Youngjo padamu ya?"
"Iya. Dia akan baik-baik saja."
Haechan pamit berdiri. Menjauh sembari menimang Aera yang mulai terisak. Melodi lembut mengalir dari bibir manisnya.
Sesuatu di dalam dada Jeno terasa sesak.
Apa jatuh cinta memang semudah ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender (Nohyuck)✔️
Fanfiction𝘞𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺, 𝘸𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺 𝘊𝘢𝘯 𝘸𝘦, 𝘤𝘢𝘯 𝘸𝘦 𝘴𝘶𝘳𝘳𝘦𝘯𝘥𝘦𝘳? ■GS■ ■probably kinda short chapters■ ■latarnya back in the old times■