Setelah hari itu, keluarga Seo benar-benar menutup akses pada Jeno. Mark dan tawa lantangnya hilang entah kemana. Begitu pula Johnny dan senyum ramahnya.Menjadi pembicaraan tentu saja. Bukankah aneh jika seseorang yang tadinya disambut baik kini seolah dianggap orang asing?
Kesalahan macam apa yang putra kedua Jung itu lakukan sampai mendapat penolakan sedemikian rupa dari keluarga Seo?
Sungchan tidak lagi berani membela sang kakak. Kakaknya salah bicara dan ia paham konsekuensi besar di baliknya.
Menyakiti bungsu Seo sama seperti mengganggu sekawanan macan.
Johnny mungkin ramah, namun pemarah. Watak tegasnya dikenal luas di lingkungan. Salah satu alasan mengapa ia disegani.
Mark jangan ditanya. Jauh lebih galak daripada sang kakak.
Maka Sungchan berlari menuju tempat terakhir yang mungkin bisa membantu. Pelukan si sulung Jung.
Ia disambut tatap heran Jaehyun. Butuh keberanian bagi Sungchan untuk menginjakkan kaki di halaman rumah itu lagi.
"Ada apa, Sungchan?"
"Bisa kita bicara, Kak? Ini mengenai Kak Jeno."
"Apalagi yang ia lakukan kali ini?"
"Sesuatu yang buruk."
"Seburuk apa?"
"Sangat buruk sampai membuat seorang Seo Johnny marah?"
"Sangat sangat buruk kalau begitu," Jaehyun memijat pelipisnya. Jeno benar-benar senang sekali mengusik kepalanya.
"Itu saja. Aku harus kembali, Kak. Istriku menunggu."
"Baiklah. Terima kasih sudah memberitahuku, Sungchan."
"Bukan masalah, Kak."
Sungchan berbalik. Meninggalkan Jaehyun bersama rasa kesal dan frustrasi. Ia harus menemui Johnny setelah ini.
Berharap saja sahabatnya itu cukup berbaik hati untuk menerima permintaan maafnya.
Jaehyun benar-benar menemui Johnny sore itu. Duduk di depan sulung Seo sambil menahan rasa gugup.
"Mengapa gugup begitu, Jaehyun?" Johnny bertanya dengan nada ramahnya yang biasa.
"Sungchan memberitahuku soal Jeno. Johnny, aku benar-benar minta maaf."
"Bukan salahmu, Jaehyun."
Johnny mengusap wajahnya. Pria tangguh itu terlihat putus asa di mata Jaehyun saat ini.
"Aku ingin bilang bahwa mereka sudah berdua sudah dewasa dan seharusnya masalah ini mereka selesaikan sendiri," lirihnya, "Tapi aku benar-benar ingin membunuh adikmu."
"Lakukan apapun yang kau mau, Johnny. Aku tidak akan menghalangimu."
"Tapi dia adikmu, Jaehyun."
"Dan kau sahabatku."
"Ia keluargamu."
"Darah memang lebih kental daripada air," ucap Jaehyun tenang, "Tapi seperti katamu, Jeno sudah dewasa. Sudah saatnya ia belajar."
Johnny diam-diam mengulas senyum. Melirik Haechan yang ia yakini bersembunyi di balik meja dapur.
Haechan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Selalu begitu sejak mereka masih kecil.
"Terima kasih, Jaehyun. Tapi aku tetap tidak bisa memukulinya. Bagaimanapun juga, Jeno adalah laki-laki pertama yang dicintai adikku."
•••
Tepi danau menjadi pelarian lagi. Haechan duduk di sana seperti kali pertama ia berbincang dengan Jung Jeno.
Bersandar di dahan pohon sembari memegang buku terbaru karangan Lee Taeyong.
'Kupikir alasan aku masih ada hingga sekarang karena ada orang mempercayaiku, mencintaiku, dan terus memperhatikanku.'
Ia iri. Pada Lee Taeyong yang berhasil menemukan Moon Taeil sebagai tempat berlabuh.
Pria hangat, tulis Taeyong dalam buku terbarunya, yang tak pernah berhenti memujinya bahkan sejak ia pertama membuka mata.
Berdiri sebagai tameng setiap kali cemooh menyerang. Walau Taeil tahu bahwa Taeyong bisa menghadapinya sendirian.
Kenapa Jeno tidak bisa seperti itu?
Moon Taeil juga berasal dari keluarga kaya. Tak berbeda jauh dengan keluarga Jung.
Keluarga Moon adalah keluarga paling kaya di Seoul, malah.
Tapi mengapa Jeno tidak bisa menutup telinga rapat-rapat seperti Moon Taeil?
Suara Baekdu terdengar dari bawah. Gumpalan berbulu itu tentu saja berhasil menemukan tuannya.
Haechan merunduk, kali ini berhati-hati. Mendapati Choi San dengan senyum lebarnya.
"Kak San?"
"Halo, Haechan. Bukankah ini sudah terlalu malam untuk seorang wanita berada di luar sendirian?"
"Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau dilarang untuk menemuiku?"
"Aku kemari untuk menemui Baekdu," San tertawa jenaka, "Tak kusangka ternyata aku juga bisa bertemu tuannya."
"Kau tahu Baekdu mengikutiku kemana-mana."
"Justru itu alasannya."
Kurva terbalik berhasil San ukir di bibir bungsu Seo hari ini. Wanita mungil itu turun perlahan. Menggunakan Baekdu yang siap sedia menjadi pijakan.
"Jadi, apa alasanmu menemui Baekdu?"
"Untuk meminta restu."
"Restu?"
"Untuk melamar tuannya."
Keduanya terdiam. Jemari Haechan diraih, digenggam erat selagi San mengambil langkah lebih dekat.
"Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika aku harus angkat kaki dari keluargaku, jadi aku tidak bisa menjanjikan kebahagiaan."
"Tapi, Haechan, aku akan mendukungmu. Lakukan apapun yang ingin kau lakukan dan aku akan ada di sampingmu."
Nadanya penuh keyakinan. Membawa efek kupu-kupu pada setiap titik peka di tubuh yang lebih muda.
"Kak San, maaf, tapi bisakah kuberikan jawabannya padamu besok?"
Bibir keduanya bertemu. San menciumnya dengan begitu hati-hati. Seolah Haechan adalah sebuah manekin yang rapuh.
"Aku akan menunggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender (Nohyuck)✔️
Fiksi Penggemar𝘞𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺, 𝘸𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺 𝘊𝘢𝘯 𝘸𝘦, 𝘤𝘢𝘯 𝘸𝘦 𝘴𝘶𝘳𝘳𝘦𝘯𝘥𝘦𝘳? ■GS■ ■probably kinda short chapters■ ■latarnya back in the old times■