nine

1.8K 355 27
                                    

Jeno berdiri kikuk. Menggendong Youngjo di tangan kanan sembari memperhatikan Haechan yang sedang sibuk menyuapi Aera.

Demi Tuhan. Jeno tidak pernah sekalipun menyentuh anak-anak. Bahkan keponakannya sendiri takut padanya.

Namun di awal ia sudah setuju untuk membantu Sungchan yang tidak bisa datang karena harus mengantar Jisung ke toko buku kota sebelah.

Bayang-bayang senyum wanita pemilik rumah ini membuahkan anggukan cepat, tanpa sempat dipikirkan dua kali.

"Tuan Jung, kau bisa letakkan Youngjo di sana," tutur Haechan, "Tanganmu pegal, kan?"

"Ah, iya."

Jeno bergerak cepat. Meletakkan Youngjo di tempat yang dimaksud. Karpet tebal berbahan lembut. Setiap jahitannya rapi dan tidak ada satu pun benang yang keluar dari tempatnya. Mungkin memang didesain untuk bayi.

Dibiarkannya balita mungil itu sibuk dengan berbagai macam mainan yang ada di sana sementara tatapnya melanglangbuana ke setiap sudut ruangan.

Kediaman keluarga Seo tidak besar. Tipikal rumah dua lantai dengan interior yang terkesan simpel.

Padahal Jeno tahu betul (dari Jaehyun) bahwa keluarga Seo adalah keluarga yang kaya. Walau memang tidak sekaya keluarga Seo Changbin, temannya di Seoul.

Satu-satunya unjuk kekayaan mereka hanyalah sebuah piano tua yang diletakkan di tengah ruangan.

"Nona Seo."

"Ya?"

"Siapa yang pandai bermain piano?"

"Kak Johnny adalah seorang pianis handal," sahut Haechan tanpa menoleh, "Jaemin juga sering memainkannya."

"Bagaimana denganmu?"

"Aku?"

"Iya. Kau."

"Masih pemula."

Gumam pelan Jeno beri sebagai tanggapan. Ia kembali fokus pada Youngjo. Memastikan Youngjo tidak terbentur apapun setiap kali anak itu menggerakkan tubuhnya.

Tidak seburuk yang ia kira.

Percayalah, ia mengumpati Sungchan dalam perjalanan ke kediaman Seo tadi pagi. Walau sebenarnya salah terletak pada Jisung yang tampaknya menyukai kata 'mendadak'.

Ternyata semua berjalan cukup baik. Perutnya tetap terisi. Sudah dua kali. Sarapan dan makan siang.

Haechan juga tak banyak bicara. Hanya sesekali melontarkan candaan saat canggung menyerang.

Menyenangkan. Untuk pertama kalinya, ia rasa harinya di kota kecil ini menyenangkan.

Tidak ada pembicaraan menguras otak ataupun bacaan-bacaan yang membuat mata perih.

Mata bulat Youngjo menatap Jeno lekat. Bulu kuduk Jeno sampai meremang dibuatnya.

Perlahan, isakan mulai mengalir. Membuat pria itu melotot panik.

"Youngjo mengantuk," bisik Haechan, "Berbaringlah. Aku akan membantumu."

Patuh. Jeno berbaring di atas karpet. Tubuhnya menegang kala Haechan meletakkan Youngjo di atasnya. Balita mungil itu mendusal nyaman, berhenti bergerak ketika kepalanya mendarat di atas dada kiri Jeno.

"Bayi cenderung merasa nyaman dan mudah terlelap saat mendengar detak jantung orangtuanya."

"Hah?"

"Kurasa kau bisa menggantikan peran Kak Johnny untuk sementara," Haechan ikut berbaring di samping Jeno dengan posisi yang sama, Aera di atas tubuhnya.

Lengan mereka saling bersentuhan. Berbahaya bagi detak keduanya yang semakin cepat.

"Nona Seo, bisakah kau bergeser sedikit? Kurasa Youngjo akan bangun kalau detak jantungku terlalu cepat."

"Ah iy—apa?"

Wajah Jeno sontak pias, "Bukan apa-apa. Tidurlah. Kau pasti lelah."

Haechan tersenyum. Menumpukan kepalanya di bahu Jeno tanpa ragu.

"Terima kasih."

■■■


Haechan mengerjap dua kali. Gerak tangannya terhenti. Mengirimkan tatap kejut pada pria di hadapannya.

"Kau barusan memanggilku apa?"

"Nona Seo?"

"Bukan itu! Kau pikir aku akan tertipu?"

Jeno terkekeh. Melangkah lebih dekat ke arah Haechan sembari mengayunkan tubuh Youngjo di gendongan.

Sudah tiga hari ia menghabiskan waktu di kediaman Seo. Satu hari diselingi oleh Sungchan dan satu lagi diselingi Jisung.

Dan hari berikutnya kedua adiknya merengek heboh. Ditarik paksa oleh Jaehyun untuk menemani Ten ke Seoul sehingga Jeno akhirnya menawarkan diri untuk datang lagi.

Jeno tidak lagi terlalu kaku. Omelan Haechan juga berkurang. Kerja sama keduanya terbangun cukup apik di sela tangis Youngjo dan Aera.

"Haechan. Aku memanggilmu Haechan," ulang Jeno.

Sekali lagi, bibir Haechan terbuka. Kilat kejut tampak di manik hitamnya.

"Ulangi lagi."

"Haechan. Kau ingin aku mengulanginya lagi setelah ini?"

"Boleh?"

"Tentu saja boleh, Haechan."

Benak Haechan bersorak ramai. Selama 26 tahun hidupnya, Haechan tidak pernah merasa namanya spesial.

Seo Haechan. Hanya nama biasa. Sekadar nama yang diberikan orangtuanya beserta doa.

Tapi mengapa namanya terdengar begitu istimewa saat meluncur dari bibir (menggoda) pria ini?

"Jadi aku juga boleh memanggilmu Jeno?" bisiknya pelan.

Lengkung ramah terukir di bibir Jeno. Diikuti anggukan yang terkesan agak riang.

"Tentu saja. Aku pikir kau tidak perlu meminta izinku."

"Tentu perlu."

"Kau tidak meminta izin Sungchan saat ingin memanggilnya Sungchan, kan? Kau bahkan berkeliaran memanggil kakakku 'Kak Jaehyun'."

"Kau dan Sungchan berbeda, Jeno. Begitu pula kau dengan Kak Jaehyun. Kalian berbeda."

Tanpa Haechan sadari, ucapan sederhananya berhasil menyentuh titik kecil di hati sang pria Jung.

Dibandingkan dengan Jaehyun nyaris seumur hidupnya, Jeno tidak bisa menahan senyum.

"Berbeda bagaimana?"

"Kau yang dingin seperti kutub, Kak Jaehyun yang hangat dan ramah, lalu Sungchan...rusa liar nakal yang satu itu. Bukankah berbeda?"

"Iyakah?"

"Ya. Sekilas kalian mungkin terlihat sama tapi sebenarnya tidak."

"Seo Haechan."

"Ya?"

"Kurasa aku menyukaimu."

"Kebetulan sekali. Aku juga menyukaimu, Jeno."

Jeno tertawa. Merengkuh pinggang Haechan dan mendaratkan bibirnya di atas plum merekah milik gadis manis itu.

Manis.

"ASTAGA! SEO HAECHAN!"


Surrender (Nohyuck)✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang