Kabar gembira datang dari Yuta.
Buku Haechan laku terjual. Mengundang pekik gembira dan lompatan antusias dari bungsu Seo.
Terlebih ketika Yuta mengabarkan bahwa pihak percetakan memutuskan untuk mencetak lebih banyak lagi karena respons bagus yang didapat.
Johnny bersiul bangga. Mengunjungi toko buku di suatu waktu untuk sekadar mengintip. Menggantikan Haechan yang menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah.
"Bagaimana? Benarkah? Kak Yuta tidak berbohong."
"Sayangnya tidak."
"Tidak?"
"Yuta tidak berbohong, Haechan."
"Astagaaa!!"
Alasan mengapa Haechan lebih banyak di rumah adalah menemani Jaemin yang sedang hamil.
Kakak iparnya itu rapuh dan lembut. Bahkan Haechan takut Jaemin akan terjatuh hanya karena tak sengaja tersandung lipatan karpet.
"Aku tidak selemah itu," ucap Jaemin di sela kegiatannya menjahit, "Kau seharusnya bersenang-senang merayakan keberhasilan bukumu, Haechan."
Doyoung turut mendukung, "Jaemin benar. Lagipula aku ada di sini."
Haechan acuh. Bersikeras membantu kedua kakak iparnya di rumah. Entah membantu di dapur atau mengawasi tingkah keponakannya.
"Haechan, bisa ajak Youngjo bersamamu? Aku sedang membuat kue."
"Tentu saja."
Youngjo mengerjap antusias. Di usianya yang belum genap satu tahun, dia ini cukup banyak bicara.
"Chann!"
Lihatlah. Bocah itu sedang merayu Haechan sekarang.
Maka Youngjo berpindah tangan. Memekik lucu kala dibawa Haechan keluar rumah. Berpegangan erat pada kain atasan bibinya.
Mereka berpapasan dengan Jaemin di teras rumah. Tampak cantik dalam balutan hanbok biru muda yang dibelikan Mark bulan lalu.
"Kau sudah cocok menjadi seorang ibu," godanya. Terkekeh geli melihat bagaimana Youngjo menempel erat pada Haechan.
Cengiran konyol disunggingkan, "Sayangnya belum ada yang tertarik menjadikanku ibu dari anak-anaknya."
"Tidak ada yang ingin memperistri gadis konyol sepertimu."
Jaemin dan Haechan menoleh serentak. Menjatuhkan pandangan pada Mark yang baru memasuki halaman.
"Astaga, Mark. Kau ini kejam sekali!"
Ada jeda. Haechan memukul pundak kakaknya main-main.
"Tapi kau benar!"
Lalu gadis itu berlalu begitu saja. Sibuk menanggapi ocehan Youngjo dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh keduanya.
Mark melangkah lebih jauh. Duduk manis di samping sang istri. Manik indah istrinya masih menempel erat pada Haechan.
"Hey."
"Jangan terlalu keras padanya, Mark."
Mark terkekeh. Paham betul arah pembicaraan sang istri. Tak heran. Jaemin dan Haechan sudah saling kenal sejak kecil.
Perempuan-perempuan cerdas yang keras kepala. Ditambah dengan kakak iparnya, Doyoung, yang memiliki sifat yang sama.
Mungkin tanpa sadar baik Johnny dan Mark mencari sosok Haechan saat memilih calon. Terbiasa dengan segala tindak tanduk adik perempuan mereka satu-satunya.
"Kau tahu aku tidak pernah bersungguh-sungguh soal itu, Jaemin."
"Aku tahu. Tapi apakah Haechan tahu?"
"Aku yakin dia tahu."
"Haechan itu spesial. Kita tak pernah tahu apa yang ada di kepalanya."
Kan. Keras kepala.
"Minta maaflah padanya ketika ia kembali nanti, Mark."
"Tapi—"
"Atau kau ingin tidur di lantai?"
"Baiklah."
Jaemin tersenyum puas. Menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami.
■■■
Mengasuh tidak semudah apa yang kalian semua pikirkan.
Terlebih jika yang diasuh adalah Youngjo. Bayi sepuluh bulan yang senang sekali mengoceh dan melonjak-lonjak.
Bersyukurlah pekerjaan itu diserahkan pada Seo Haechan yang tidak kalah aktifnya.
Berlarian kesana kemari mengikuti kemauan si bocah dalam gendongan walau berkali-kali tersandung kain hanboknya sendiri.
"Kau sudah lelah?"
"Um!"
"Belum?" pekik Haechan, "Lalu kau ingin kita ke mana lagi?"
Youngjo menggeleng. Sebisa mungkin menahan kantuk yang mulai menyerangnya.
Ia masih ingin menghabiskan waktu dengan sang bibi.
Tapi Haechan terlampau peka.
Perlahan, ditimangnya tubuh mungil Youngjo sembari menggumamkan melodi lagu pengantar tidur yang sering dinyanyikan Doyoung.
Youngjo sempat merengek protes. Namun kecupan Haechan di dahi membawa kantuknya lebih dekat.
Senandung lembut Haechan yang dipadukan dengan suara gemerisik dedaunan adalah duet luar biasa.
Membawanya ke alam mimpi semudah menjentikkan jari.
"Lucunya....ka—"
Haechan terkesiap. Memutar tubuhnya secepat mungkin. Mendekap erat tubuh keponakannya.
Sesuatu yang keras menabrak punggung. Kecil, namun lumayan menyakitkan.
Suara langkah kaki menyusul kemudian. Mau tak mau membuatnya menoleh. Dihadapkan dengan sepasang manik legam milik seorang pria.
"Maafkan aku. Apa kau terluka?"
"Nyaris," sahutnya enteng, "Kau ingin ganti rugi?"
Senyum perlahan merekah di wajah pria itu, "Jika memang perlu. Kau ingin aku melakukan apa?"
"Hm...apa ya? Apapun yang ada di kepalamu saat ini."
Dalam sekejap, keduanya menjadi akrab. Pria itu menawarkan diri untuk mengantar Haechan pulang karena hari sudah sore.
Haechan dan jiwa sosialnya yang tinggi tentu mengiyakan dengan mudah. Berjalan beriringan sambil sesekali membicarakan hal-hal konyol.
"Serius? Kau mengenal Nyonya Kim yang pemarah itu?"
"Dia kebetulan tinggal di sebelah rumahku."
"Serius?"
"Iya. Ia bahkan pernah mencoba melemparku dengan pot bunga!"
Tawa keduanya bersahutan sampai pagar kediaman Seo terlihat.
"Sepertinya cukup sampai di sini," Haechan berhenti, "Terima kasih sudah mengantarku dan melemparku dengan kerikil tadi."
Lawan bicaranya menggeram malu. Balik menatap Haechan. Tangannya terulur mengusap pelan kepala Youngjo.
"Tidak masalah. Maafkan aku soal itu ya."
"Tenang saja. Aku cukup pemaaf. Ah, kita belum berkenalan! Kau bisa memanggilku Haechan."
"Namaku Sungchan. Jung Sungchan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender (Nohyuck)✔️
Fanfiction𝘞𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺, 𝘸𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺 𝘊𝘢𝘯 𝘸𝘦, 𝘤𝘢𝘯 𝘸𝘦 𝘴𝘶𝘳𝘳𝘦𝘯𝘥𝘦𝘳? ■GS■ ■probably kinda short chapters■ ■latarnya back in the old times■