Semilir angin lembut menyapa surai hitam pria muda yang tak lagi semuda dulu. Ia terkekeh, merapatkan mantelnya.
Baru genap empat tahun sejak sebagian hatinya ia patahkan sendiri.
Genap dua tahun sejak ia berhasil ambil langkah keluar dari bangunan tinggi berkedok rumah.
Satu tahun sejak rasanya berhasil mengalah.
Jeno kembali menatap ke depan. Pada mentari yang perlahan merangkak naik. Rutinitas barunya sejak empat tahun lalu.
Matahari selalu mengingatkannya pada Haechan.
Cintanya.
Hela nafas kasar kembali dibuang. Bagaimana ya kabar Haechan?
Jeno berlari sejauh mungkin sejak Jaehyun berhasil lepas tali kekangnya. Ia tak mau menoleh. Menolak untuk berpamitan pada siapapun.
Tidak bahkan pada Jisung yang saat itu sedang merayakan kelahiran anak pertamanya.
Dan seperti itu, putra kedua keluarga Jung menghilang.
"Jeno?"
Pria itu berjengit terkejut, menoleh cepat pada pemilik lengan kurus yang melingkari lengannya.
"Masuk, ya? Mataharinya sudah terbit. Nanti kau sakit."
Ah, sepertinya Jeno terlalu sibuk dengan kepalanya sampai tidak sadar bahwa sang mentari sudah duduk di singgasana. Menyumbangkan kilau pada salju yang menghiasi jalanan.
"Jeno? Kau masih ingin di sini?" sosok di sampingnya bersuara lagi, "Masuklah nanti untuk sarapan, ya?"
Jeno tersenyum. Ia bawa matanya, bersibobrok dengan manik hitam yang belakangan ini menjadi kesukaan.
Kang Hyunggu.
Perempuan itu adalah seorang pelukis. Pertemuan pertamanya dengan si putra Jung pun tak jauh dari sana.
Ia melukis Jeno.
Jeno yang berantakan digambarkannya dengan indah. Tidak ditutup-tutupi. Luka Jeno tetap digambar apik di sana.
"Lukamu tidak perlu ditutupi. Setiap luka punya cerita. Lukamu juga. Lukaku juga."
Hyunggu jadi orang pertama yang rentangkan tangan lebar-lebar untuk Jeno yang rapuh.
Orang pertama yang duduk diam mendengarkan kala Jeno mengeluh. Tak banyak bicara, hanya tersenyum dan menawarkan secangkir cokelat panas setiap kali Jeno tersedak tangisnya sendiri.
"Kau salah. Iya. Lalu kenapa? Jeno, jika Nona Seo sekarang bahagia, maka masalahnya ada di dirimu. Jangan benci dirimu sendiri."
Mungkin perkataan itu.
Mungkin itulah alasan mengapa Jeno membawa Hyunggu ke hadapan pendeta dua bulan setelah pertemuan mereka.
Menjadikannya seorang Jung Hyunggu.
Hyunggu tidak sekuat Haechan. Ia banyak menangis, mudah menangis.
Tapi ia satu-satunya yang memakaikan Jeno mantel setiap kali ia akan pergi melihat matahari terbit, mengenang kisahnya bersama Haechan.
Tak pernah ada satu pun kalimat protes yang keluar. Ia akan menyambut Jeno kembali dengan pelukan dan banyak makanan hangat untuk sarapan.
Kali ini, Jeno tidak mau kehilangan hati baik lainnya.
"Sayang."
Punggung Hyunggu menegang, ia berbalik ragu-ragu, "Iya?"
Jeno mendekat. Memakaikan mantelnya pada tubuh mungil sang istri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender (Nohyuck)✔️
Fanfic𝘞𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺, 𝘸𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺 𝘊𝘢𝘯 𝘸𝘦, 𝘤𝘢𝘯 𝘸𝘦 𝘴𝘶𝘳𝘳𝘦𝘯𝘥𝘦𝘳? ■GS■ ■probably kinda short chapters■ ■latarnya back in the old times■