Haechan melalui harinya dengan agak istimewa hari ini. Jaemin memaksa untuk menjaga Aera sendiri dan Doyoung pun melakukan hal yang sama terkait Youngjo.
Artinya Haechan bebas. Bebas berlarian kesana kemari (toko buku Nakamoto contohnya) dan mulai menulis lagi.
Yuta menawarkan buku-buku baru. Ikut tersenyum kala Haechan menyambut gembira. Memasukkan mereka ke dalam daftar referensi terbarunya.
Baekdu mengikuti tuannya. Membantu Haechan untuk naik ke salah satu dahan pohon besar di dekat sungai. Sudah terlampau maklum dengan segala tindak tanduk aneh Haechan.
"Baekdu, kau tidak apa-apa menungguku di bawah sana? Janji tidak akan kepanasan?"
Baekdu menyalak setuju. Meyamankan diri di bawah naungan bayang pohon yang rindang seolah berkata,
"Aku baik-baik saja, Nona!"
Haechan mendesah lega. Mengambil posisi terbaik dan mulai membuka buku di pangkuan. Halaman demi halaman.
Lagi-lagi buku karangan Lee Taeyong, penulis wanita yang namanya sangat terkenal.
Di saat gadis seumurannya mengidolakan wanita-wanita aristokrat bertutur lembut macam Bae Joohyun, Haechan memilih jalannya sendiri.
Menempelkan sosok Lee Taeyong di kepala dan setiap langkahnya.
Nona Lee yang sejak 2 tahun lalu berganti status menjadi Nyonya Moon itu tanpa sadar menjadikan Haechan seorang wanita yang kuat.
Seperti Lee Taeyong, ia ingin mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan menutup telinga rapat-rapat.
Seperti Lee Taeyong, ia ingin jatuh cinta dengan sederhana. Karena itulah ia menolak kala beberapa menjodohkan Haechan dengan entah siapa.
Kabarnya, Taeyong dan suaminya, Moon Taeil, berteman sejak kecil.
Mengadakan resepsi kecil-kecilan dan memilih untuk hidup sederhana dengan tujuan bertumbuh tua bersama.
Bukankah luar biasa?
Haechan bergumam. Meninjau setiap kata yang ditulis apik.
Berhenti pada beberapa baris yang dicetak tebal dengan tinta perak. Sentuhan khas pada setiap buku karangan Taeyong.
'You can be bad at things. You can stay weird. That's you. That's just the way you are and that's cool.'
"Ah...Lee Taeyong memang luar biasa," puji Haechan.
Huruf mulai mengisi buku catatan kosong yang dibawanya. Setiap ide dituangkan baik-baik.
Dibanding menggunakan mesin ketik, Haechan lebih nyaman menulis langsung. Menyimpan rasa kagum tersendiri pada tulisan tangannya yang semakin rapi.
Lagipula selama ini pihak penerbit dan percetakan tidak pernah melayangkan protes tentang naskah yang dikirimnya.
Poin plus lainnya adalah bahwa dengan begini, naskahnya tidak bisa ditiru. Plagiarisme dapat disingkirkan dari daftar kekhawatiran Haechan.
"Baekdu," panggilnya tanpa melongokkan kepala ke bawah, "Jung Jeno. Pria kurang ajar itu. Apa pendapatmu tentangnya?"
"Bagaimana bisa seseorang menghakimi orang lainnya begitu saja?"
"Maksudku, ini tidak adil. Aku bahkan tidak mengenalnya dan dia bilang aku tak punya tata krama."
"Walau ya...tidak salah juga."
Kerutan muncul di kening Haechan karena tak ada sahutan dari anjing kesayangannya. Ia merangkak ke tepi dahan, berusaha melihat ke bawah.
"Baekdu, kau mende—"
"Halo."
Pekik Haechan menyambung setelahnya. Menjadi latar suara jatuhnya gadis itu dari dahan tempat ia menumpu tubuh.
Berpegangan pada entah apa yang menyambutnya di bawah.
Hangat. Keras.
"Hei, kau baik-baik saja?"
Dan bisa berbicara?
■■■
Haechan ingin sekali menyembunyikan wajahnya sekarang.Sayang, ingin disembunyikan di mana? Nyatanya tubuhnya mendarat begitu mulus ke atas sosok yang menopang tubuhnya saat ini.
"Aku benar-benar minta maaf, Jeno."
"Bukan itu yang seharusnya kau katakan padaku sekarang."
"Lalu?"
"Kalimat lainnya."
"Terima kasih?"
"Anak pintar."
Jeno tidak bisa menahan lengkung di bibir. Panas tubuh Haechan membawa nyaman pada tiap titik sarafnya. Dilengkapi oleh harum mawar yang sangat pekat.
Hampir menghambat niatnya untuk bangun kalau saja posisi mereka tidak terbuka. Kemungkinan orang lewat dan melihat sangat tinggi.
Jeno yakin mereka berdua sama tidak inginnya menjadi bahan pembicaraan seisi kota esok pagi.
Tangannya terulur ke pinggang Haechan. Membantu gadis itu kembali pada posisi seimbang.
"Jadi begini rasanya terhindar dari kematian yang tidak diinginkan," gumam Haechan. Buru-buru menuliskan sesuatu di bukunya.
Pengalaman adalah guru terbaik.
Jeno tertawa. Berdiri di samping Haechan dengan penuh rasa ingin tahu.
Kepalanya pasti bermasalah. Karena sang bungsu Seo terlihat luar biasa dengan matahari terbenam sebagai latarnya.
Menandingi lukisan-lukisan yang ia lihat di Seoul dulu. Padahal pipinya dipenuhi noda bekas coretan tinta.
"Apa kau sering membicarakan orang lain seperti itu?"
"Seperti apa?"
"Seperti tadi."
"Ya," sahut Haechan tanpa ragu, "Jangan khawatir. Baekdu tidak senang bergosip. Aku pastikan apapun yang kukatakan tentangmu tidak akan sampai ke telinga anjing lain."
Terhibur, Jeno mengulurkan telapak, "Keberatan untuk menghabiskan sisa harimu bersamaku, Nona Seo?"
Telapaknya disambut hangat. Beriringan dengan senyum kelewat lebar yang disunggingkan manis.
"Tentu saja tidak, Tuan Jung."
"Ada tempat yang ingin kau kunjungi?"
"Sepertinya secangkir teh hangat dan sepotong kue bukan ide buruk."
"Aku setuju."
KAMU SEDANG MEMBACA
Surrender (Nohyuck)✔️
Fanfiction𝘞𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺, 𝘸𝘩𝘦𝘯𝘦𝘷𝘦𝘳 𝘺𝘰𝘶'𝘳𝘦 𝘳𝘦𝘢𝘥𝘺 𝘊𝘢𝘯 𝘸𝘦, 𝘤𝘢𝘯 𝘸𝘦 𝘴𝘶𝘳𝘳𝘦𝘯𝘥𝘦𝘳? ■GS■ ■probably kinda short chapters■ ■latarnya back in the old times■