Dua Belas: Drugs

13 3 0
                                    

Luke sudah membuat janji dengan dokter gigi terdekat, aku juga sudah melalukan foto rontgen di hari yang sama. Mereka memberi tau kami untuk datang dua hari setelah janji dibuat. Itu artinya adalah hari ini. Pihak rumah sakit meminta kami untuk sampai di rumah sakit pada pukul sepuluh pagi dan Luke sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, sehingga kami sampai di rumah sakit tepat pada pukul sepuluh. Begitu sampai, Luke langsung melakukan semua hal yang harus dia urus di meja pendaftaran, menandatangani semua berkas, dan sebagainya.

Setelah itu mereka mempersilahkan kami duduk di kursi yang tersedia hingga namaku dipanggil. Bagi beberapa orang bau rumah sakit itu sangat menyengat dan mereka benci itu. Tapi menurutku aromanya biasa saja. Kadang aku bisa mencium bau hand sanitizer ciri khas rumah sakit, dan aku suka itu. Tapi aku setuju dengan pendapat orang-orang mengenai dinding, lantai, dan gorden rumah sakit yang bernuansa putih—terkesan membosankan. "You nervous?" Luke bertanya, membuatku langsung menoleh padanya. Aku mengangguk sebelum menyembunyikan wajahku di balik ketiaknya.

Gak, gue gatau itu ketek bau atau ngga. Orang gue pake masker.

Luke lalu meraih tanganku yang kupangku dan meletakannya di atas pangkuannya sebelum mengusap punggung tanganku lembut. "You'll be fine." Bisiknya dibalik masker yang ia pakai. Tak lama kemudian, seorang perawat berambut merah yang diikat satu memanggil namaku. Menyuruhku untuk mengikutinya menuju sebuah meja yang terdapat alat tensi di atasnya dan juga timbangan di sampingnya. Dia akan memeriksa tekanan darah, berat dan juga tinggi badanku. Dan benar saja, dia memeriksa itu semua. Tekanan darahku normal: 119/80 mmHg, dengan tinggi badanku 5'1 ft. Aku tidak akan menyebutkan berat badanku karena itu adalah privasi. Titik.

Perawat berambut merah dengan nametag Diana itu menyuruhku untuk duduk kembali sampai namaku kembali disebut. Jadi aku kembali duduk di samping Luke dan kembali bersandar pada lengannya. "How's your blood pressure?" Tanyanya dan tangannya kali ini mengusap lututku. "Yeah, it was normal. 119/80."

Kami menunggu selama sepuluh menit sampai namaku kembali di panggil. Mereka menuntunku menuju sebuah ruangan yang kutebak ruangan itu merupakan ruangan dokter karena terdapat kursi pemeriksaan gigi disana dan juga berbagai macam alat-alat yang tidak kumengerti atau pun ku kenal. Tapi aku tau beberapa, tepat di samping kursi pemeriksaan terdapat sebuah elektrokardiogram untuk memindai impuls listrik jantung, lalu juga terdapat tiang untuk meletakan cairan infus yang sudah tersedia tergantung disana. Dr. Gabriel Prado menyambut kami dengan sangat ramah dan mempersilahkanku untuk duduk di kursi pemeriksaan gigi. Meskipun dia memakai masker, tapi aku tau dia sedang tersenyum. Aku bisa melihatnya dari kerutan di matanya. Dia tampan. Aku sempat mencari fotonya di google saat tau bahwa dokter Gabriel Prado lah yang akan menanganiku.

Jangan pada cepu ke Luke ya, tolong!

Dokter tampan ini memperkenalkan diri sebelum mulai menganalisis hasil foto rongtenku yang sudah tersedia di mejanya yang rapih dan bersih. Dokter Gabriel mengatakan bahwa gigi grahamku tumbuh pada posisi yang salah, dimana dia menabrak gigi geraham di depannya. Itu sebabnya gusiku sering bengkak. Dia juga mengatakan bahwa tulang rahang bawahku menghalangi jalannya proses pencabutan gigi geraham ini, jadi dia harus melakukan tindakan dengan cara melubangi tulang itu. Dia bisa membaca rasa takut di wajahku, dia langsung membuka maskernya dan tersenyum hangat, "It'll be just fine. You won't feel any pain, even a bit."

Aduh senyumnya!!!

Aku segera menoleh ke arah Luke. Aku tidak mau menatap wajah dokter tampan ini terlalu lama. Aku takut jika kedua pipiku akan memerah dan aku tak mau Luke melihatnya. Itu sebabnya aku langsung menatap wajah Luke. "Promise. He promise, right doctor?" Ucap Luke yang tengah duduk di kursi pasien—berseberangan dengan kursi  dokter Gabriel. "Yes, I promise." Dokter Gabriel kembali tersenyum. "Okheyy, let's do this." Ucapku yakin walaupun dengan lutut yang gemetar. Dokter Gabriel kemudian meminta Luke untuk menunggu diluar saat dirinya mulai memasang alat infus di tangan kanan dan juga memasangkan electrocardiograph di kedua pergelangan tangan dan kakiku. Lalu dia menyuntikan sesuatu, sepertinya itu adalah anastesi karena setelah itu aku tidak mengingat apapun. Terakhir yang kuingat adalah wajah dokter Gabriel yang mengatakan bahwa aku harus tenang dan aku akan baik-baik saja. Selebihnya buram dan gelap.

Lukman 2020: Kembalinya Aku ke AustraliaWhere stories live. Discover now