Six: Debu

12 3 0
                                    

Sesuatu bergerak di dalam hidungku, aku bisa merasakannya sampai di pangkal hidungku—antara hidung dan juga dahi. Semakin aku berusaha menahannya, sebuah tusukan kecil menghantam otakku. Jadi mau tidak mau aku melepaskannya dengan cara bersin, setidaknya itulah yang otak dan sarafku perintahkan. Hingga akhirnya aku terbangun.

Aku terbangun di atas kasur, sendirian di dalam kamar ini. Luke pasti sudah tidur di kamarnya. Kini aku merasa ada sesuatu yang bergerak di mataku, membuatku reflek untuk menggosoknya. Aku tidak tahan untuk tidak menggosoknya. Sial, ini gatal sekali dan nikmat sekali saat aku menggosoknya! Apakah ini sama nikmatnya saat berhubungan sex?

Sial, kini hidungku kembali gatal. Aku terus menggosoknya secara bergantian sampai akhirnya aku bersin berkali-kali tanpa henti dan disusul dengan mataku yang mulai membengkak. Benar, alergiku kambuh. Mata dan hidungku sakit sekarang, bahkan tenggorokanku kering.

Pintu kamar terbuka, pengelihatanku buram karena mata yang bengkak dan berair, tapi aku masih bisa melihat wajah khawatir Luke yang menghampiri. Ia mulai membentak dan memerintahkanku untuk tidur di kamarnya, membiarkan dirinya yang tidur di kamar ini. Aku tidak mau membantah, jadi aku menurut dan mengikutinya untuk pindah ke kamarnya. Dinyalakannya mesin penghangat ruangan dan dibalutnya tubuhku menggunakan selimut. Andai hidungku tidak mampet, pasti aku sudah bisa mencium aroma selimut ini.

Ia menyanyikan lagu You're The Only Good Thing in My Life dari Cigerattes After Sex sembari terus membelai rambutku dan sesekali mencium keningku. Mataku terpejam, tapi air mata terus mengalir akibat alergi sialan ini. Ditengah-tengah lagu, Luke menghentikan nyanyiannya dan hendak pergi dari sisiku, tapi aku mulai merengek dan memeluk tubuhnya erat-erat. Aku menyukai posisi ini, nyaman. Lagi pula aku mana mungkin tega membiarkan Luke tidur di kamar berdebu itu, ditambah lagi ini adalah rumahnya. Aku jadi merasa tidak sopan.

"Please stay here for the night." Luke tidak menjawab, tapi gerak tubuhnya yang menarikku kedalam dekapannya lebih dalam membuatku mengerti bahwa dia mengiyakan keinginanku.

***

Suara Luke dari ruang tamu membangunkanku, ia terdengar sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya. Mataku masih sedikit bengkak dan agak sulit bagiku untuk membuka mata. Pengelihatanku masih buram dan hidungku masih mampet. Jam berapa ini? Apa aku terlambat kuliah?

"I dont think she'll attending today's class, Cal. She's sick." Luke berbicara dengan Calum melalui telphone. Memangnya jam berapa ini? Aku segera meraih ponsel Luke di nakas dan menatap layar kuncinya yang menampilkan fotoku yang sedang memakai kebaya kartini saat kelas satu SD. Memalukan sekali!!! Jam disana menunjukan pukul sembilan pagi dan otu artinya aku sudah terlambat setengah jam. Aku langsung bangkit dan melompat keluar dari kasur, berlari kecil menuju kamarku untuk meraih laptop dan perlengkapan kuliahku. Luke tampak terkejut akan kehadiranku yang tiba-tiba.

"Babe, you feeling well already?" Tanyanya dengan ponselku yang masih menempel di kupingnya. "Why didn't you wake me up, Luke?"

"What do you mean? You're sick and i thought you need some rest." Ia kini menjauhkan ponselku dari kupingnya dan mematikan sambungan telephone sembari melangkah ke arahku, "It's okay to skipped class once." Nada bicaranya melembut. "Luke, im fine. It's just my eyes. Don't you have class today?"

"Nah, swerve."

"Luke, you promised yourself that you wont skip class anymore." Kubawa laptop dan perlengkapan kuliahku ke meja makan. "It's because you made me promise to be on my best behavior." Ia mengecupku sekilas dan menciptkan senyuman secara instan di wajahku. "Okay, okay babygirl. I wont skip my class but im still waiting tho." Ia menyeringai dan melenggang pergi menjauhiku, mungkin untuk bersiap menunggu kelas.

Lukman 2020: Kembalinya Aku ke AustraliaWhere stories live. Discover now