Lima Belas: Penghinaan

6 3 2
                                    

Akhirnya aku sampai di cafe—tempat aku bekerja dulu. Kulirik Talica di sekitar meja outdoor dan dia tidak ada disana. Mungkin dia memilih meja di dalam karena diluar sedang sangat panas. Jadi melangkah menuju pintu masuk. Lonceng bel berbunyi bersamaan dengan daun pintu yang kudorong. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambutku. Melemparkan senyum pada Tom yang sadar akan kehadiranku dari balik meja kasir. Aku menghampirinya sejenak sebelum mengedarkan mata untuk mencari Talica.

"Hey, a fresh graduate girl! Long time no see, how's life?" Tanyanya dengan ramah. Sebenarnya aku tidak bisa melihat senyuamnya karena masker. Tapi aku yakin dia tersenyum dari kerutan disekitar matanya. "It's been great. I've been accepted in a big company as a personal assistant." Jawabku dengan riang. "How's yours, Tom?"

"Not much happen. Anyway, what brings you here?"

"Im meeting a friend here. Um, Tom...can i do vanilla latte with a shot caramel cream?" Aku langsung memesan tanpa memperpanjang percakapan kami karena Talica sudah menungguku. "As usual." Kekeh Tom bersamaan dengan aku yang mengeluarkan 4.15 dari dompetku. "Girl, you don't have to pay." Tom mendorong tanganku halus—menolak bayaran. "No, im here as a guest. Please, Tom." Aku memohon, dan kali ini Tom mendegus. "Alright. But only four dollars." Lalu dia pun menarik empat lembar dollar dan memasukannya ke laci kasir. Sedangkan aku kembali memasukan lima belas sent kedalam dompet. "Thank you." Ujarku sebelum akhirnya membalik badan dan mencari sosok Talica.

Itu dia. Gadis bergigi gingsul itu sedang duduk sambil terus memainkan ponselnya. Dia duduk di meja ujung, dengan secangkir minuman di hadapannya. Tak mau membuatnya menunggu terlalu lama, aku segera menghampirinya. "Maap ya lama. Soalnya tadi bisnya ngaret." Kataku sambil mendaratkan bokong di kursi. Talica langsung mendongak begitu mendengar suaraku. "Iya gapapa. Udah pesen minum belom lo?" Dia meletakan ponselnya di atas meja.

"Udah kok tadi. Eh kenapa? Kenapa? Lu kenapa sama Calum?" Mencondongkan tubuhku ke arah Talica karena jujur aku sangat penasaran. Ini kali pertama aku mendengar Calum berkelahi dengan wanita. "Jadi gini Bel...."

***

Intisari dari yang Talica katakan adalah Calum terlalu possessive. Talica malam itu pergi makan malam keluar bersama sahabatnya yang dia kenal dari dulu—jauh sebelum dirinya dan Calum bertemu. Tidak ada yang benar disini, tidak Talica dan tidak juga Calum. Biar kuperjelas:

Talica pergi makan malam bersama sahabat pria yang belum pernah dia kenalkan pada Calum, dan malam itu dia pergi tanpa memberitau pria botak itu. Maap Calum, kamu walopun botak tetep ganteng kok.

Calum juga salah karena terlalu possessive terhadap Talica. Talica sudah menjelaskan dan meminta maaf—dia  sudah menyadari kesalahannya. Tapi Calum masih tetap beranggapan bahwa Talica berselingkuh. Calum emang cemburuan tapi jujur gue baru tau kalo Calum marah atau cemburu kaya gini. Takut gue.

"Gue harus gimana lagi coba belll???" Talica sudah terdengar putus asa. "Mm, gimana ya Tal? Lu sih udah bener minta maap sama dia."

"Dia gamau bales chat gue, Bel. Dia jutek parah sama gue."

"Ya orang dia lagi marah sama lu. Ya iyalah dia jutek." Aku menjawab dengan spontan sebelum menyeruput Vanilla Latte pesananku yang tiba saat Talica bercerita tadi. "Gini deh, nanti malem kan Luke sama Calum mau hangout dan pasti dia cerita ke Luke. Gak mungkin kalo dia gak cerita. Nanti gue coba diskusi sama Luke supaya dia bisa nasehatin Calum. Gimana?"

Talica menatapku dengan penuh harapan. "Moga aja ya Bel. Cape banget gue berantem mulu dari kemaren."

"Iya udah santai aja. Lu jangan panik dulu. Calum kalo marah gak lama kok." Talica mengangguk dan ikut menyeruput minumannya. "Oh iya, gimana job interview lu?" Dia mengganti topik.

Lukman 2020: Kembalinya Aku ke AustraliaWhere stories live. Discover now