Tujuh: Mata Luke kena Cabe

12 4 10
                                    

Rumah sudah bersih dan rapi, kini saatnya bagi kami untuk bersantai karena kami memang kelelahan. Jadi, disinilah aku berbaring di atas sofa dan Luke berbaring di atas karpet. Menatap sekeliling ruangan dan merasa puas terhadap apa yang telah kami kerjakan bersama. Sunyi, tidak ada yang mengeluarkan suara hingga akhirnya Luke memberi tauku bahwa ia sudah mengabarkan ayahnya untuk mau bergabung dengan perusahaan dan mengundurkan diri dari café tempat ia bekerja. Aku senang karena Luke sudah memutuskan masa depannya. Tapi walaupun begitu, Luke berjanji akan menyelesaikan kuliahnya tahun ini.

Karena kami merasa kotor dan berdebu, kami pun memutuskan untuk mandi secara bergantian. Luke berbeda dengan tiga temannya yang tidak begitu memperhatikan mandi. Ia memiliki prinsip walaupun tampangmu tak setinggi Harry Styles, setidaknya kau harus menjaga aroma tubuhmu.

Emang bener, tapi aku tuh kadang mager kalo mandi.

Aku pun berjalan ke kamar untuk melepas pakaian dan meletakannya pada keranjang kotor. Sepertinya aku harus mengantar pakaian kami ke tempat laundry. Lalu aku berjalan ke kamar mandi dengan berlapis handuk. Kugantung handukku di balik pintu kamar mandi dan mulai mengisi bathtub. Sembari menunggu, aku mulai melakukan ritual pada wajahku yang imut seperti bayi ini. Setelah itu, barulah aku merendamkan diri di bathtub. Sebenarnya bathtub ini bisa sekaligus untuk shower, tapi aku sedang ingin berendam agar lebih santai.

Talica.

Tiba-tiba saja nama itu terlintas di pikiranku. Kapan Calum akan mempernalkan gadis Indonesia itu padaku? Apakah Luke sudah mengetahui hal ini? Rasanya ingin sekali aku bercerita pada Luke dan bergosip ria, tapi sebaiknya Calum sendiri yang memberi tau. Jadi sekarang aku menyibukan diri dengan menggosok-gosok tubuhku dengan air berbusa ini dan menghayal mengenai hubunganku dan Luke kedepannya. Dimana kami akan tinggal nanti? Indonesia atau Australia? Entahlah.

Jemariku sudah mulai mengerut, seolah-olah memberi tauku untuk segera menyelesaikan mandi dan berpakaian. Aku pun bangkit dan mencabut penyumbat bathtub, menyalakan shower untuk bilas. Lalu mengeringkan tubuhku dengan handuk, melilitnya, dan kembali ke kamar. Kalian pasti sudah tau pakaian apa yang akan kupakai malam ini. Ya, benar. Daster.

Sekarang aku tidak tau apa yang harus kulakukan. Jadi aku merebahkan diri di atas kasur dan membongkar isi ponselku. Jemariku menari-nari pada layar dan berakhir dengan menghubungi kedua orang tuaku dan Luke secara bergantian.  Aku menelphone hanya untuk menanyakan kabar mereka dan memastikan bahwa mereka baik-baik saja. Aku juga kembali mengingatkan pada mereka untuk selalu memakai masker dan sering-sering mencuci tangan. Aku memang menelphone mereka sebentar, atau aku akan kembali menangis dan merasa canggung. Tapi aku juga bisa mendengar suara mama yang bergetar menahan tangis, jadi aku pun segera mematikan sambungan telephone dengan alasan bahwa aku akan ada kelas.

Oh ya ampun, aku lupa! Aku dan Luke belum makan siang! Pantas saja aku merasa sedikit lemas.

Jadi aku bergegas menuju dapur dan membongkar kulkas, mencari makanan atau bahan apapun yang bisa ku olah. Tapi sayangnya hanya ada tomat, beberapa cabai, udang, satu pack beras dan ayam. Bahan-bahan itu memberiku ide untuk membuat ayam goreng dan juga sambal. Tanpa pikir panjang, aku langsung mencuci satu bungkus beras itu dan merebusnya. Aku tau kalian pasti bingung dengan apa yang kumaksud satu pack beras. Di Australia, mereka tidak menjual beras dalam bentuk karungan seperti di Indonesia, mereka menjulnya dalam bentuk bungkusan seperti tepung segitiga biru.

Sepertinya Luke sudah selesai mandi karena pintu kamar mandi sudah terbuka. Mungkin ia sedang memakai baju di kamarnya sekarang.

Sambil menunggu berasnya matang, aku mulai mencuci ayam dan merendamnya dalam air garam yang bercampur dengan bubuk bawang dan bubuk lada putih. Luke memasuki dapur, memperhatikan gerak-gerikku sejenak sebelum bertanya "I just realized that we skipped lunch. What you cooking?"

Lukman 2020: Kembalinya Aku ke AustraliaWhere stories live. Discover now