Pada saat meeting tahap awal di kantor Maximum, aku tidak menjumpai Dirga di sana. Kukira Dirga sudah mengundurkan diri, tidak bekerja di sini lagi, tapi ternyata dia sedang menghadiri sebuah acara untuk perwakilan kantornya. Syukurlah, berarti aku tidak harus bertemu dengannya hari ini. Malah sekalian aku berharap dia pindah divisi supaya tidak perlu mengurusi kebutuhan pemeriksaan selama berada di sini.
"Kak, sudah sore, nih. Kita perlu balik kantor nggak?" tanya Ardan ketika kami keluar kantor Maximum.
Aku melirik arloji. "Nggak usah. Pulang saja."
"Oke, Kak."
Kami menunggu lift terbuka. Tidak butuh waktu lama, kotak silver di hadapan kami melebarkan pintunya. Beberapa orang terlihat keluar dari sana. Aku membeku sesaat begitu orang terakhir keluar meninggalkan lift.
"Halo, Pak Dirga." Ardan menyapa kemudian mereka berjabat tangan, tapi Dirga tidak menjabat tanganku.
"Halo, sudah selesai, ya? Kalian sudah mau pulang?" tanya Dirga.
"Iya, Pak. Kemungkinan kita mulai masuk minggu depan. Teknisnya sebagian besar sudah kami sampaikan di forum tadi. Nggak jauh beda sama tahun kemarin kok, Pak. Nanti kalau ada perubahan kami info lagi," ucap Ardan membuatku tersenyum. Anak itu sudah terlatih berkomunikasi.
"Oke. Berarti sampai jumpa minggu depan, ya." Dirga mengangguk lantas dengan cepat menoleh ke arahku. "Hai, Prisha. Lama nggak jumpa. Apa kabar?"
Aku tersenyum tipis. "Kabar baik. Maaf, kami nggak bisa lama-lama. Masih ada keperluan. Permisi."
Aku menarik tangan Ardan dan menyuruhnya lekas masuk lift. Apa dia tidak tahu sejak tadi tanganku menahan tombol lift hanya untuk mempertahankan pintunya tetap terbuka supaya tidak perlu menunggu lama lagi? Apalagi mendapati Dirga seolah tidak menganggap kehadiranku semakin aku tidak betah berada dalam situasi itu. Basa-basi kayak begini yang bikin menghambat.
Menuju lantai dasar terasa sangat lama. Setelah ini aku sedang tidak ingin ke mana-mana. Aku ingin langsung pulang ke rumah. Aku harus memberitahu Gibran bahwa aku batal ikut di acara ulang tahun temannya. Mendadak suasana hatiku tidak nyaman.
Aku dan Ardan berpisah di lobi. Dia melanjutkan perjalanan menuju halte busway sedangkan aku berlanjut ke arah basement untuk mengambil motor yang terparkir. Pada saat kukeluarkan ponsel dari saku celana untuk memberi tahu Gibran, aku melihat sebuah pesan masuk. Fenomena pesan singgah di ponsel dari nomor yang tidak asing lebih menarik untuk dibuka ketimbang menelepon Gibran untuk saat ini.
Dirga : Masih di bawah, kan? Tunggu, ya. Aku ke situ.
Sepuluh menit yang lalu, itu berarti pada saat aku masih berada di dalam lift. Aku menengok sekeliling, seharusnya dia sudah ada di sini kalau memang tadi dia segera menyusul. Aku mengedikkan bahu kemudian menelepon Gibran. Gibran terdengar kecewa, tapi aku bilang ingin langsung pulang karena tidak enak badan. Aku belum memberitahunya kalau tahun ini aku kembali memegang proyek Maximum.
"Mau langsung pulang?"
Seseorang berbicara tepat di belakangku sontak membuatku tersentak.
"Astaga, bikin kaget saja," gerutuku.
"Nggak mau tinggal sebentar? Satu jam lagi jam kerjaku selesai."
Tawaran yang menarik, tapi aku tidak bisa mengiyakan begitu saja. Aku tidak mau kepergok Gibran sedang berduaan dengan Dirga, apalagi barusan aku membatalkan acara bersamanya. Siapa tahu tahu mata-mata Gibran ada di mana-mana, kan?
"Kayaknya nggak sekarang. Aku lagi nggak pengin ke mana-mana. Terima kasih, ya," tolakku.
"Oke, nggak masalah. Aku cuma pengin minta waktu kamu sebentar, tapi nggak apa-apa kalau kamu nggak bisa. Setelah ini kita pasti ketemu lagi, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You're Not Married Yet? [Selesai]
ChickLitKenapa kamu belum menikah? Sebuah pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku. Memangnya ada yang salah ya, ketika aku, Prisha Yudistia belum menikah di usia tiga puluh dua tahun? Orang bilang aku ini gila kerja, makanya belum menikah di umur yang sa...