Dua

28.6K 3.6K 250
                                    

"Baru pulang, Neng? Kerjanya sibuk banget, ya? Ya ampun Neng, nanti kalau sudah menikah jangan pulang malam-malam. Kasihan suaminya," cetus salah satu tetangga saat aku memarkir motor di teras rumah.

"Anak perempuan itu nggak perlu terlalu keras bekerja. Bukan kewajibannya. Kerja terus, kapan nikahnya? Perempuan itu semakin berumur semakin susah dapat jodohnya," sahut yang lain.

Aku hanya menoleh sekilas tanpa tersenyum atau sekadar mengucapkan permisi. Paham ke mana arah tujuan kalimat tersebut. Ujung-ujungnya menyudutkan. Cibiran seperti itu sering kuterima sampai tubuhku kebal. Risiko tinggal di lingkungan padat penduduk ibukota ternyata tidak berbeda dengan tinggal di perkampungan daerah. Tetangga kanan-kiri pada doyan menggosip membicarakan orang lain.

Mereka tidak tahu kalau pekerjaanku menuntut sering pulang malam hingga pagi hari. Apa lagi saat musim peak season, aku pernah menginap di kantor untuk kejar tayang laporan yang diminta segera. Meski dengan ritme jam kerja yang tidak pasti, aku tidak merasa terbebani. Mau bagaimana pun aku bekerja, itu bukan urusan tetangga. Yang penting aku menikmatinya. Lagi pula aku masih single, bebas-bebas saja melakukan hal yang kusuka.

Baru saja merebahkan diri di kasur, tiba-tiba Mbak Teya menelepon. Aku berdecak. Waktu istirahat terpaksa dikorbankan untuk segelintir pekerjaan kalau malam-malam begini Mbak Teya menelepon.

"Halo Mbak."

"Sha, lo besok ke Maximum, ya. Yang ini butuh cepat. Entar alamatnya gue share. Lo berangkat sama Ardan. Entar lo kontak-kontak sama dia, ya."

"Pak Mada gimana?"

"Gampang, biar dikerjain orang lain. Besok lo ketemu sama Pak Dirga."

"Maximum yang uang elektronik itu bukan, Mbak?"

"Iye. Lo sering pakai aplikasi itu, kan? Jangan lupa jam sembilan ya, Sha."

"Mbak ...."

Namun, koneksi panggilan terputus. Ini terlalu mendadak, biasanya sebelum turun ke lapangan selalu diberikan briefing terlebih dahulu. Tidak ada persiapan apa pun tiba-tiba besok diminta menuju lokasi. Kalau situasinya begini biasanya ada salah satu tim yang mengundurkan diri dari penugasan. Ah, seharusnya tidak boleh begitu. Kata profesional kenyataannya hanya terucap di mulut tanpa melekat di hati. Tetapi sebagai warga negara kantor yang baik, aku harus menyanggupi perintah Mbak Teya.

Esoknya, aku menanti Ardan di lobi gedung sebelum menuju kantor Maximum di lantai dua puluh delapan. Pria berkacamata itu berlari kecil ke arahku sesudah menukar kartu identitasnya dengan kartu akses.

"Maaf telat, Kak," ucap Ardan seraya merapikan kemeja.

"Telat sepuluh menit. Besok-besok gue nggak bakal nunggu lo lagi, Dan," cetusku.

Semoga Pak Dirga tidak kecewa karena kami datang lebih lambat dari jadwal yang ditentukan. Menurut informasi dari Mbak Teya tadi pagi saat meneleponku, Pak Dirga adalah orang yang menyukai ketepatan waktu. Sangat disiplin dan tertata rapi. Tidak mau tahu, aku akan menyalahkan Ardan kalau Pak Dirga marah.

Tiba di lantai dua puluh delapan, fantasiku buyar ketika berhadapan langsung dengan Pak Dirga. Kupikir sosok Pak Dirga adalah seorang pria paruh baya dengan perut buncit, kepala botak, serta kacamata baca yang menggantung di hidung peseknya. Kenyataannya, berbanding terbalik dengan angan-angan. Pak Dirga adalah pria muda dengan penampilan casual, berpembawaan tegas, tidak berkacamata, dan memiliki hidung mancung.

"Maaf, kami terlambat," ucapku sambil tersenyum kikuk.

"Sudah biasa." Pak Dirga melirik arloji yang melingkari pergelangan tangan, "Ayo, kita ke ruang meeting."

Why You're Not Married Yet? [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang