Delapan

18.9K 2.8K 35
                                    

"Ini ban kenapa bisa kempes, sih?" gumamku.

Biasanya aku memarkir motor di dalam gedung, tapi karena pengin beli lontong sayur di dekat parkir motor di luar gedung makanya aku sekalian menaruh motor di sana. Mungkin karena area parkiran outdoor dan tidak teratur sehingga memungkinkan banyak ranjau tak terduga. Aku mengecek ban motor belakang. Tampaknya ban menggores sesuatu ketika motor dipindahkan. Ah, harusnya pemilik parkiran bertanggung jawab atas hal ini. Besok-besok aku kapok menaruh motor di sini lagi.

"Kenapa, Sha?" Tiba-tiba Gibran ikut jongkok di sampingku.

"Astaga, Bran. Bikin kaget saja lo," pekikku refleks memukul lengannya. Gibran terkekeh.

"Kenapa motor lo?"

"Bannya kempes. Nggak tahu kenapa."

"Tumben lo parkir di sini. Biasanya juga di dalam." Gibran memintaku bergeser. Dia mengambil alih posisi. Menekan ban dari segala sisi, tampaknya Gibran tengah mencari akar permasalahan inti.

"Dekat sini nggak ada tambal ban. Motor lo perlu diderek, Sha. Gue punya nomor telepon tamban ban panggilan gitu, sih. Cuma kalau jam segini kayaknya kemaleman. Paling abangnya sudah balik. Besok saja, deh. Gue bantuin urus motor lo," ucap Gibran seraya berdiri.

"Justru tambal ban panggilan itu harusnya bisa dipanggil kapan saja dalam keadaan darurat. Gimana, sih?"

"Lo pikir abang tambal ban nggak butuh istirahat. Ya kali dia robot. Tenang saja, besok gue bantuin. Sekarang lo balik bareng gue saja. Nggak usah naik ojol apa lagi busway. Sama gue gratis, lo naik transportasi umum pakai ongkos."

"Ye, modus banget lo."

Gibran tertawa. "Namanya juga usaha, Sha. Lo hargai gue sedikit, lah. Mau barengan nggak?"

Sebenarnya tempat tinggal Gibran berlawanan arah denganku. Aku ke arah Palmerah sedangkan dia mengarah ke Mampang. Sepanjang jalan kami tidak terlalu banyak berbincang. Aku merasa sedikit canggung. Bagaimana tidak? Sekarang aku diantar pulang oleh orang yang terang-terangan rutin menaruh hadiah donat setiap hari di atas mejaku. Walaupun sehari-hari bersikap seolah tidak ada apa-apa, tapi ketika momen berdua begini membuatku tetap waspada.

Tidak ada kumpulan ibu-ibu nyinyir ketika motor Gibran berhenti di depan rumah. Sayang sekali, aku malah berharap mereka sedang asyik bergosip saat aku pulang kantor. Aku berharap mereka melihatku pulang diantar seorang pria. Biar mereka punya bahan obrolan terbaru. Pasti mereka kepo siapa gerangan pria yang mengantarku.

"Makasih ya, Bran. Besok gue minta tolong Papa buat ngangkut motor saja. Lo nggak perlu repot," ujarku begitu turun dari motor Gibran.

"Sama gue biasa saja, Sha. Nggak usah sungkan." Gibran membuka kaca helm. "Jadi, rumah lo di sini?"

Gibran mengamati rumahku beserta sekelilingnya. Percaya atau tidak, Gibran adalah pria pertama yang datang ke rumah pasca berakhirnya hubunganku dengan Ferdi. Sesudah itu aku pantang mengajak pria mengunjungi rumahku.

"Kapan-kapan gue boleh main ke rumah lo, Sha?" Gibran menyengir mau tak mau membuatku tertawa. Tidak salah lagi Gibran benar-benar modus. Dimulai dari menawarkan kopi hingga menaruh donat di mejaku setiap hari.

"Modus lo kebaca banget tahu nggak? Jangan-jangan lo juga yang kempesin ban motor gue biar gue bisa pulang bareng lo."

"Dih, pede banget. Sebagai teman yang baik harus begitu, Sha. Saling tolong menolong dalam kebaikan. Lo saja yang negative thinking melulu."

"Iya, iya. Gue masuk ya, Bran. Terima kasih. Lo buruan balik, noh. Perjalanan lo jauh. Entar masuk angin."

"Nggak apa-apa gue masuk angin asal lo yang ngerokin."

"Bisa ae lo gantungan kunci."

Gibran lebih muda tiga tahun dariku, tapi perawakannya tidak mencerminkan usia yang sesungguhnya. Badan bongsor serta kumis tipis membuatnya semakin persis pria-pria berumur tiga puluh lima tahun ke atas. Bermata agak sipit, aku mengira Gibran memiliki garis keturunan oriental. Namun aku salah, rupanya Gibran berasal asli dari Palembang.

Tetapi berkencan dengan pria yang berkantor sama denganku sangat aku hindari. Tentu saja aku tidak ingin kejadian yang sama terulang dua kali. Keuntungannya memang dapat bertemu setiap hari, lebih mudah memantau, tapi jika diam-diam dia bermain di belakang ya sama saja. Pokoknya secara langsung orang-orang di kantor tidak termasuk target operasi yang aku kriteriakan.

"Lo harus banyak main, Sha. Biar lingkungan pertemanan lo nggak itu-itu saja. Setiap hari yang lo temui cuma orang-orang kantor yang modelnya begini doang. Lo harus berkelana biar bisa ketemu berbagai macam manusia," komentar Bang Rendi keesokan harinya saat kami sarapan di pantri. Pagi-pagi sudah membahas perkara jodoh, pembicaraan macam apa ini?

"Gue bukan kera sakti, Bang. Gue nggak bakal berkelana mencari kitab suci. Lagian kerjaan gue juga kayak begini, benar juga kata orang hidup gue tersita buat kerja doang. Jatah pikniknya kurang. Pantesan gue kagak menikah-menikah" timpalku seraya menyendok bubur ayam.

"Lo hidup di zaman kapan sih, Sha? Modelan berkelana lo masih sekelas mencari kitab suci? Atau lo sama Gibran saja sono. Gue tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua." Mata Bang Rendi menyipit seraya tersenyum licik.

"Tukang gosip lo, ye."

"Harusnya lo sarapan donat pemberian doi, bukannya beli lontong sayur abang-abang pinggir jalan. Gue tahu Gibran sering kasih lo donat soalnya belinya sama gue. Eh, bukan cuma gue tapi semua orang sudah pada tahu. Cuma mereka masih tutup mulut sampai sekarang. Hahaa...."

Terus saja membuat gosip biar sekalian seisi kantor tahu apa topik yang sedang hits abad ini. Perkara sebiji donat saja mampu membuat sejagad raya heboh. Aku rasa itu hal yang biasa, hanya saja bagi sebagian orang tampak luar biasa. Pada saat yang bersamaan, Gibran masuk ke pantri. Bang Rendi langsung terbatuk dan menyingkir dari sana.

"Sorry, gue duluan. Takut merusak suasana," ucap Bang Rendi seraya menyengir.

Aku memutar bola mata. Tidak habis pikir dengan kelakuan orang ini. Tinggallah kini aku berdua bersama Gibran di pantri. Dia menyeduh kopi sedangkan aku menghabiskan lontong sayur dalam diam. Masalah motor yang kutinggal di parkiran sudah diurus Papa. Supaya Gibran tidak perlu berpartisipasi dalam hal penyelamatan motorku itu.

Gibran datang mendekat dengan secangkir kopi dan sebuah bungkusan. Dia mengangsurkan bungkusan tersebut kepadaku. Kedua alisku terangkat. Apakah ini donat lagi? Setiap hari makan donat bisa-bisa gula darahku naik. Lagi pula aku sudah sarapan. Energi lontong sayur ini cukup meng-cover sampai makan siang nanti.

"Itu bukan donat, tapi bolu cokelat. Entar lo bosan tiap hari makan donat," celetuk Gibran seolah mampu membaca apa yang aku pikirkan.

"Ngapain lo kasih gue makanan, Bran? Tiap hari pula. Lo masih punya kebutuhan lain yang lebih penting ketimbang kasih gue makanan. Berapa duit nih, dikali berapa biji lumayan bisa buat tambahan biaya hidup lo. Apa lagi lo anak indekos," balasku sambil membuang styrofoam bekas lontong sayur ke tempat sampah.

"Nggak apa-apa. Gue pengin saja. Lo terganggu, ya?"

"Bukannya begitu, Bran. Ya, aneh saja tiba-tiba lo kasih gue makanan tiap hari. Mending lo kasih makanan ke tunawisma yang lebih bermanfaat. Ada orang lain yang lebih membutuhkan makanan daripada gue."

Gibran tertawa. Lalu, dia menatapku sambil bertopang dagu. "Gue baru tahu lo itu lucu banget, Sha. Gue nggak nyangka pola pikir lo bisa sampai ke situ. Umur lo berapa, sih? Masa begitu saja kagak paham?"

"Berapa umur gue itu bukan urusan lo. Mulai besok nggak usah kasih gue makanan lagi. Gue nggak tertarik menjalin hubungan sama lo. Oke?"

Gibran semakin tertawa. "Yakin? Hati-hati, omongan lo bisa jadi boomerang suatu saat nanti. Kalau pada akhirnya lo tertarik sama gue beneran gimana? Jangan sombong begitu kali, Sha."

Aku bergegas kembali ke kubikel, mengabaikan Gibran yang masih terkekeh.






19.09.2020 

Why You're Not Married Yet? [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang