Tujuh Belas

14.6K 2.2K 79
                                    

"Prosedurnya lo lengkapi lagi, Dan. Segini doang belum mewakili. Mbak Teya bakal teriak-teriak kalau yang lo tampilin cuma segini," ucapku sambil memberikan beberapa catatan untuk tambahan kertas kerja Ardan.

"Tapi kan, kita nggak ngelakuin semua itu, Kak," sahut Ardan seolah memprotes daftar catatan yang cukup panjang.

"Ya, tergantung kreativitas lo. Pokoknya harus lo tambah. Maximum itu lumayan gede, ada kemungkinan kena sampel peemriksaan. Kalau prosedur nggak lengkap, bisa kacau kita. Entar kalau lo nggak ngerjain semua ini yang kena omel Mbak Teya itu gue, bukan lo. Buruan kerjain sudah ditagih, tuh," cetusku.

"Iya, Kak. Tapi nggak harus jadi hari ini, kan? Banyak banget, Kak." Ardan menatapku dengan muka suram, lebih tepatnya memohon.

Aku menghela napas panjang. "Nggak, tapi kalau bisa selesai hari ini lebih baik. Yah, kalau lo sanggup. Gue nggak nyuruh lo lembur, ya. Kerjain semampu lo saja. Kirim ke email gue kalau sudah beres."

"Siap, Kak."

Ardan pergi menjauh dari kubikelku. Aku tidak tahu rupanya ada sosok lain yang menanti di belakang Ardan berdiri tadi. Sambil menarik kursi kemudian duduk di sampingku, dia bersendang dagu. Aku mendengus menunggu tingkah aneh apa lagi yang akan dia lakukan.

"Lo jadi senior galak bener, Sha. Jangan galak-galak, lah. Kasihan Ardan, maklum fresh graduate belum paham banget. Kalau pengin kerjaan cepat kelar tanpa ngajarin anak baru, mending proyek berikutnya lo ajak anak lain yang lebih berpengalaman. Gue misalnya," celetuk Gibran.

Gibran mencomot kantung keripik di atas mejaku. Tanpa rasa bersalah, dia menandaskan keripik yang tersisa separuh itu. Padahal itu adalah stok camilan terakhirku. Aku belum sempat membeli stok camilan lagi, padahal di lantai dasar terdapat minimarket. Di luar hujan deras, saat-saat seperti ini perlu persediaan asupan makan ringan yang banyak.

"Itu namanya pelatihan mental, Bran. Semua anak baru emang harus gitu biar bisa kerja yang bener. Apa lagi fresh graduate," sahutku.

Gibran manggut-manggut. Lalu, dia mengerlingkan mata. "Eh, lo sudah ngapain saja sama Dirga? Sudah sejauh mana?"

"Kok lo jadi kepo sama urusan gue, sih? Kayak emak-emak penganguran yang tiap hari nyinyir nanyain kapan gue menikah. Lo punya masalah hidup apa sih, Bran?"

Seketika Gibran tertawa. "Ya jelas gue kepo, dong. Gue lagi cari celah, Sha. Kali aja gue bisa menyusupi kehidupan kalian."

Kejujuran yang sangat hakiki.

"Lo benar-benar gila ya, Bran," decakku.

Malas meladeni, aku beranjak menuju pantri. Gibran sempat menarik tanganku, tapi aku tepis. Lama-lama Gibran semakin berani beraksi. Dia terang-terangan bertingkah di kantor sekadar untuk menarik perhatian. Aku tidak mengerti apa isi pikiran pria ini.

Hujan sederas ini membuat perutku keroncongan. Merasakan udara sedingin ini, yang ada di pikiranku adalah semangkuk mi rebus panas dengan toping irisan cabai rawit. Makanya aku pergi ke pantri daripada menanggapi Gibran yang tidak jelas. Syukurlah stok mi instan di pantri masih melimpah ruah. Cabai rawit di dalam kulkas juga masih mencukupi.

"Widih, baunya wangi banget. Mantap nih, hujan-hujan makan mi rebus panas. Bikinin buat gue juga dong, Sha," celetuk Bang Rendi tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.

Aku yang sedang mengiris cabai sontak terperangah. Kehadirannya yang mendadak membuatku tersentak hingga mata pisau yang tajam malah mengiris ujung jariku. Aku menjerit panik. Darah segar mengalir.

"Lo bikin gara-gara saja sih, Bang. Ngagetin gue saja," gerutuku sambil memencet jari yang teriris pisau.

"Buset, lo kenapa, Sha?" Bang Rendi sempat mematikan kompor sebelum melihat keadaan jariku. "Astaga, ini parah banget. Sorry, gue nggak maksud bikin gara-gara. Bentar, bentar, gue cari pertolongan. Oh iya, P3K. Gue bawain peralatan P3K. Sebentar, lo di sini baik-baik, ya."

Why You're Not Married Yet? [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang