Tiga Puluh

21.1K 2.1K 102
                                    

Aku sedang bersantai mendengarkan musik pagi hari ketika tiba-tiba Mbak Teya menyerbu kubikelku. Kulepas headset, menatap Mbak Teya yang berdiri gelisah. Aku melirik penunjuk waktu di layar laptop. Tidak seperti biasanya Mbak Teya sudah tiba di kantor pagi-pagi. Belum genap pukul delapan.

"Sha, beneran Dirga kena covid?" tanya Mbak Teya dengan nada mendesak.

"Nggak tahu, Mbak. Kok lo bisa bilang gitu?" Aku baru dengar informasi ini. Seperti halnya Mbak Teya, aku juga terkejut.

"Gue lihat status WhatsApp-nya. Nih."

Mbak Teya menunjukkan status WhatsApp Dirga yang menunjukkan dia sedang berada di sebuah bangsal berfoto bersama dua orang yang mengenakan alat pelindung diri lengkap. Penasaran, aku pun membuka ponsel. Mencari status WhatsApp Dirga seperti yang ditunjukkan Mbak Teya. Namun, aku tidak menemukan apa-apa. Barangkali Dirga membatasi orang-orang tertentu yang bisa melihat statusnya.

"Di tempat gue nggak ada, Mbak," tunjukku.

"Masa? Wah, berarti Dirga memang sengaja bikin lo nggak boleh lihat, Sha. Setidaknya lo nggak diblokir sama dia. Eh, gue nggak berani tanya, tapi kepo. Gimana, dong? Coba gue komen statusnya, ya."

Pantesan aku tidak pernah melihat aktivitas Dirga di semua media sosial yang kuikuti, termasuk Instagram dan WhatsApp. Rupanya dia sudah memberiku pengecualian untuk mengintip aktivitasnya. Tetapi dia masih leluasa mengintip aktivitasku karena semua media sosialku terbuka untuk umum, tidak ada yang diprivasi.

"Belum dibaca, Sha." Mbak Teya mengedikkan bahu lantas berlalu.

Sekarang aku yang terpaku. Sejak hari itu, Dirga ternyata sengaja menghindariku. Beberapa bulan tidak pernah komunikasi, tiba-tiba dikejutkan kabar bahwa Dirga terduga terinfeksi covid. Belum tentu benar juga, tapi berdasarkan informasi yang ditunjukkan Mbak Teya ada tanda-tanda mengarah ke sana. Kalaupun benar, semoga Dirga bisa sembuh dan menjalani hari-hari seperti biasanya.

"Sha, Sha. Dibalas sama Dirga," teriak Mbak Teya membuat semua orang yang ada di ruangan memandang ke arah kami. "Nih, iya katanya. Sudah dua minggu dirawat. Kasihan, ya. Jangan-jangan dia stres mikirin elo, Sha. Lo bikin imun Dirga menurun."

"Ya ampun, Mbak. Jangan semuanya disangkut-pautkan sama gue, deh. Ya memang sudah jalan hidupnya begitu. Nggak usah ikut campur sama hidup orang, deh. Lo bantu doa, kek. Jangan julid mulu," sahutku membuat Mbak Teya melongo.

Aku sendiri juga tercengang bisa berkata demikian kepada manajerku. Ini tidak akan memengaruhi penilaian kinerja, kan?

"Syukur kalau lo sudah move on. Padahal gue barusan bilang sama Dirga lo kirim salam buat dia."

"Apa? Lo jangan cari perkara deh, Mbak. Ngapain, sih?"

"Sorry, Sha. Lagian habis itu Dirga nggak balas lagi, kok. Paling dia juga malas, kan? Lanjut lagi, deh. Sorry, ya."

Mbak Teya segera melipir. Aku mendengus panjang. Bisa-bisanya dia bersikap seperti bocah. Ini memang perkara kecil, tapi bukan tidak mungkin menjadi persoalan besar. Bisa menimbulkan salah paham. Semuanya sudah selesai, aku tidak mau membuka hal-hal yang telah berlalu. Kuhirup napas dalam-dalam, aku tidak boleh gentar karena ini adalah pilihanku. Ini sudah benar dan aku tidak mau jatuh lagi.

Kali ini aku menunggu Gibran di dekat kantornya. Aku duduk di bangku yang tersedia di trotoar sambil menikmati lalu lalang kendaraan. Angin sore yang berembus cukup membuat tengkuk dingin dan pundak pegal. Rasanya seperti mau masuk angin. Duh, jangan sampai tumbang.

Dari arah kanan aku meliaht Gibran berjalan dengan seorang wanita yang kuterka usianya lebih muda darinya. Kelihatannya mereka sangat dekat. Aku sudah menduga Gibran akan dikelilingi oleh wanita-wanita muda dalam lingkungan pekerjaaannya. Gibran melambaikan tangan pada wanita yang menghampiri ojek online di pinggir trotoar. Seketika aku muak melihat pemandangan tersebut. Aku mendengus pelan saat Gibran melangkah menujuku.

Why You're Not Married Yet? [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang