Sembilan

18.5K 2.9K 111
                                    

Aku menemani Mbak Intan memeriksa kandungan ke dokter. Duduk di ruang tunggu bersama para ibu hamil, aku mengamati sepintas ekspresi mereka masing-masing. Ada yang begitu ceria karena kontrol kehamilannya ditemani suami tercinta, ada yang menggebu-gebu bercerita, ada pula yang terdiam dengan raut wajah sayu. Mengamati aura wajah para pasien, dari sini aku menyimpulkan, ada sebagian orang yang menganggap kehadiran anak merupakan kebahagiaan dan ada pula yang menganggapnya bencana. Ternyata tidak semua orang mengharapkan kehadiran seorang bayi.

"Ayo, Sha."

"Sudah selesai, Mbak? Cepat banget."

"Cuma kontrol doang."

Aku dan Mbak Intan duduk di ruang tunggu sembari menanti taksi online tiba. Aku melirik Mbak Intan dari samping, pasti berat banget menjalani hidup seperti itu. Berpisah dengan suami dalam keadaan hamil, usia pernikahan ibarat seumur jangung sudah harus menjalani cobaan seberat itu. Tetapi Mbak Intan kuat, aku percaya dia wanita hebat.

"Malam Minggu, nih. Lo nggak kencan, Sha? Cari pacar, lah. Menikmati hidup. Jalan-jalan, nongkrong, biar kenal banyak orang. Kerja boleh, tapi refreshing juga perlu," ucap Mbak Intan sambil mengusap perut yang membuncit.

"Kencan sama siapa, Mbak? Pacar-pacaran nggak ada guna juga. Gue nggak ada level menghabiskan waktu untuk hal yang nggak bermanfaat," cetusku tertawa sumbang.

"Kalau begitu menikah saja," sahut Mbak Intan membuatku bungkam.

Sudah kubilang berapa kali perkara menikah tidak semudah ngupil di malam hari. Siapa sih yang tidak mau menikah? Semua orang pasti memiliki salah satu impian menikah dengan pujaan hati. Mbak Intan saja yang gagal dalam pernikahan menyarankan aku untuk menikah. Apakah Mbak Intan tidak jera dengan pengalaman hidup yang dia alami?

"Kenapa jadi murung begitu? Lo takut menikah?" tawa Mbak Intan lantas dia menggenggam tanganku. "Jangan berkiblat sama gue, Sha. Pas kebetulan saja gue dapat apes. Gue emang gagal, makanya gue nggak mau lo bernasib sama kayak gue. Lo berhak bahagia."

Aku menatap Mbak Intan yang tersenyum. Sorot matanya tampak sendu, tapi Mbak Intan tidak mengeluh atas apa yang terjadi dengannya. Mbak Intan sendiri belum ada kepikiran menikah lagi. Dia hanya ingin membesarkan anak yang tengah dikandung sepenuh hati. Perihal pendamping hidup, Mbak Intan tidak mau terburu-buru. Bahkan dia malah pernah bilang tidak akan ada pernikahan yang kedua kali.

"Taksinya sudah datang, Mbak. Yuk."

Taksi online yang kami pesan sudah menunggu di depan. Aku persilakan Mbak Intan masuk terlebih dahulu. Betapa terkejutnya aku ketika sang sopir menoleh ke belakang. Antara foto driver di aplikasi dengan kenyataan sangat berbeda. Dan, aku tidak menyangka bahwa pengemudi taksi yang kami tumpangi adalah Pak Dirga.

"Sesuai aplikasi ya, Mbak," ucap Pak Dirga tersenyum lebar.

"Iya."

Aku menjawab singkat lantas memalingkan muka ke arah jendela. Dunia bisa sesempit ini ternyata. Aku memilih bungkam sepanjang perjalanan sementara Mbak Intan asyik bermain ponsel. Beberapa kali aku memergoki Pak Dirga mengintip lewat spion tengah. Pasti dia sangat kepo. Akhir-akhir ini kami sudah tidak saling bertukar kabar.

Tiba di depan rumah, aku meminta Mbak Intan turun terlebih dahulu. Sementara aku hendak 'menyelesaikan urusan' dengan pengemudi taksi online ini. Sebab, saat di tengah perjalanan tadi sebuah pesan singgah di gawaiku. Pak Dirga ingin bicara denganku.

"Saya bisa protes karena wajah pengemudi antara di aplikasi dan kenyataannya berbeda," cetusku sesudah Mbak Intan keluar mobil.

"Itu akun adik saya. Soalnya saya bingung mau ngapain. Weekend nggak ada kegiatan, ya sudah saya pinjam akun adik saya saja lumayan sekalian jalan-jalan. Wanita yang bareng kamu tadi siapa? Yang periksa ke dokter kandungan bukan kamu, kan?" Pak Dirga memutar tubuh hingga menghadapku.

Why You're Not Married Yet? [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang