Sembilan Belas

14.1K 2K 42
                                    

Sering berurusan dengan banyak klien membuatku mengenal berbagai macam jenis karakter manusia sekaligus kisah hidup yang melingkupinya. Mereka memiliki pengalaman hidup di luar ekspektasi yang tidak pernah kusangka sama sekali. Tak jarang apa yang mereka ceritakan bahkan pernah kualami. Bahkan kisah mereka terdengar lebih gelap dari kisah hidupku sendiri. Tidak terbayangkan dalam benakku bahwa klienku rupanya juga memiliki kisah kelam. Seseorang yang kelihatannya berjaya, memegang jabatan strategis perusahaan, justru di baliknya terdapat cerita yang tidak disangka-sangka.

Dalam suatu momen, aku pernah berbincang dengan salah satu klien. Seorang wanita hebat, direktur utama perusahaan ternama. Kariernya sangat cemerlang dan sering mendapat penghargaan dari pihak eksternal. Memiliki karier cemerlang tidak menjamin kehidupan pribadinya berjalan baik begitu pula sebaliknya. Wanita ini berusia lima puluh tiga tahun dan menolak menikah lagi karena sebelumnya dia pernah dikhianati suami. Ketika usia pernikahan menginjak tahun ketiga, wanita ini baru tahu kalau suaminya ternyata penyuka sesama jenis. Harga dirinya hancur seketika. Sejak saat itu dia memutuskan tidak akan menikah lagi.

Ada lagi CFO perusahaan telekomunikasi papan atas. Wanita sekitar empat puluh tahunan masih lajang, tapi bukan berarti tidak menginginkan pernikahan. Dia memilih melajang hingga benar-benar menemukan pasangan yang tepat bukan tanpa alasan. Dulu, dia pernah nyaris menikah. Semua persiapan sudah matang dan tamu undangan sudah hadir. Namun, calon mempelai pria dan keluarganya tak kunjung tampak. Hingga sebuah pesan singkat singgah di ponselnya, calon mempelai pria membatalkan pernikahan dengan alasan tiba-tiba tidak yakin dengan pernikahan ini.

Begitulah, setiap orang memiliki kisah masing-masing yang tidak berhak dihakimi. Pilihan hidup yang dijalani bagi mereka sudah paling tepat. Orang lain tidak punya kuasa untuk ikut campur. Berbekal ragam pengalaman hidup orang lain membuatku semakin mantap menentukan jalan hidup. Dengan siapa aku akan menghabiskan masa tua itu adalah urusanku.

"Kok gue jarang lihat Dirga, sih? Lo sama Dirga baik-baik saja, kan?" tanya Mbak Teya saat menyerahkan hardcopy report yang telah selesai dia review.

"Baik. Masa tiap hari Dirga harus ke sini Mbak? Kan dia juga punya urusan lain," jawabku.

"Yah, dulu dia jemput lo hampir setiap hari, Sha. Kalian putus?"

"Putus apaan, Mbak? Gue nggak pacaran sama Dirga. Apaan sih orang-orang pengin tahu saja urusan gue?"

"Eh, kok lo malah nyolot?"

"Tahu, ah."

Aku tidak memedulikan rasa hormat terhadap Mbak Teya lagi. Daripada emosi meledak, sebaiknya aku bergegas pergi. Seharusnya aku tidak berbuat demikian, ini memang tidak sopan. Tetapi, sikap orang-orang yang sok ingin tahu kehidupan pribadiku bikin kepalaku panas. Mendadak aku tidak punya hasrat untuk menyelesaikan report yang memasuki masa deadline. Kuhirup napas dalam-dalam, rasanya kesabaranku mengikis. Aku beranjak, memilih menyepi di taman untuk menetralisir suasana hati.

Aku dan Dirga baik-baik saja. Kami tetap berkomunikasi seperti biasa meskipun intensitas pertemuan tidak sesering dulu. Kami memiliki kehidupan dan prioritas masing-masing. Punya hubungan dekat dengan seseorang tidak lantas bisa disebut pacaran. Begitulah yang terjadi antara aku dengan Dirga. Misalnya aku dan Dirga pacaran pun, apa urusannya dengan kalian?

Sebuah minuman dingin menempel di pipi membuatku terhenyak. Aku mengumpat dalam hati. Menemukannya di sini, aku jadi curiga jangan-jangan dia mengikutiku sejak tadi.

"Bengong mulu. Nih, buat mengembalikan mood lo," ujar Gibran seraya mengangsurkan sebuah cup es cokelat. Tahu saja dia kalau cokelat bisa mengembalikan suasana hati yang buruk.

Kuteguk es cokelat itu hingga setengahnya. Gibran mengamatiku sambil tertawa. Aku mendesah lega. Ternyata segar juga minum es cokelat setelah melewati situasi yang panas.

Why You're Not Married Yet? [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang