Dua Puluh Delapan

13K 1.9K 230
                                    

"Keren banget Maximum awal bulan tiga sudah rilis. Tahun kemarin kayaknya April baru kunci angka, deh," komentar Mbak Teya saat aku tengah menyusun laporan final berwujud hardcopy yang akan kuserahkan hari ini.

"Kak Prisha kan sudah pengalaman, Mbak. Beresin klien sekelas Maximum jelas lihai. Jam terbang memang nggak bisa bohong," sahut Ardan.

Mbak Teya dan Bang Rendi berpandangan lantas mereka berdua tertawa.

"Lo polos banget, Dan. Selain pengalaman profesional yang Prisha miliki, ada faktor lain yang bikin jalan dia mulus nge-handle tuh klien. Masa lo nggak paham kalau Prisha kenal orang dalam yang statusnya nggak main-main," celetuk Bang Rendi.

"Lo jangan bikin fitnah, Bang," sambarku.

Rumor kembali beredar sejak aku dikirim untuk mengerjakan proyek Maximum. Aku tahu sebenarnya ada unsur kesengajaan di sini. Selain memang pembagian tim sesuai porsi masing-masing, bukan tidak mungkin aku sengaja ditempatkan di sini untuk memantik api. Melihat reaksi Mbak Teya dan Bang Rendi seceria itu, aku yakin pertemuanku kembali dengan Dirga memang sudah diatur.

"Istimewa banget nggak, sih? Masa mereka mau ambil report hardcopy sendiri ke kantor kita coba? Nggak mau dikirim pakai kurir. Yang lebih spesial lagi, CFO Maximum sendiri yang mau ke sini. Bukan orang lain. Gue nggak tahu itu orang datang ke sini atas nama pribadi atau perusahaan, ya?" tambah Mbak Teya disusul tawa Bang Rendi.

"Hah, masa Pak Dirga mau ke sini?" celetuk Ardan panik.

"Lo nggak tahu, Dan? Wah, Prisha parah Ardan nggak dikasih tahu." Bang Rendi ikut menanggapi.

Aku menghela napas panjang. Orang-orang memang pandai merangkai cerita yang tidak diketahui kebenarannya. Menambahi bumbu-bumbu penyedap rasa untuk menghasilkan fenomena kisah yang sebetulnya hanya ada di dalam khayalan mereka. Mereka sengaja merancang situasi untuk menciptakan informasi palsu. Kelak informasi itu akan digunakan sebagai sarana adu domba paling ampuh untuk memecah belah perdamaian.

Segera kutinggalkan orang-orang itu kemudian menuju ruang meeting. Aku mendapat kabar dari resepsionis kalau Dirga sudah menunggu di sana. Aku berusaha bersikap biasa saat masuk ke dalam ruangan. Dirga berdiri menyambutku, mengajak berjabat tangan. Aku menyerahkan tiga rangkap buku report ketika kami sudah duduk berhadapan. Selama dia meneliti laporan yang kuberikan, aku mengamatinya diam-diam.

"Oke, nggak ada masalah. Jangan lupa tanda terimanya, ya," ucap Dirga seraya memasukkan buku report ke dalam kertas amplop cokelat.

"Iya, sedang dibuatkan," kataku.

"Oh, iya. Sebentar. Ada yang mau kukasih sama kamu."

Dirga meletakkan satu bendel kertas berukuran A4 yang dijilid rapi. Bentuknya seperti makalah masa kuliah. Tidak cukup tebal, aku penasaran apa yang tertuang di sana. Halaman paling depannya memuat judul yang merepresentasikan isinya, tapi aku tidak bisa membacanya dengan jelas. Untuk apa dia memberikan 'makalah' itu kepadaku?

Tahu aku kesulitan menangkap tulisan yang tercantum, Dirga mendekatkan 'makalah' itu kepadaku. Mataku melotot begitu tulisan itu terbaca oleh indera penglihatanku. Aku menatap Dirga tak percaya. Bahkan aku sampai kesulitan menarik napas. Tidak pernah terpikir olehku sebelumnya kalau Dirga bakal memberiku kejutan seperti ini.

"Proposal pernikahan?" gumamku membaca judul tulisan di halaman depan.

"Iya, di situ sudah kutulis lengkap mulai dari data pribadi, riwayat pekerjaan, kondisi keluargaku sekarang, visi misi pernikahan, sampai strategi membangun keluarga. Bahkan aku juga kasih alasan kenapa aku menulis proposal itu buat kamu. Aku butuh waktu satu tahun untuk mempersiapkan. Kalau kamu tertarik atau ada sesuatu yang nggak kamu ngerti, hubungi aku saja. Nanti bisa kita diskusikan," ujar Dirga tersenyum tipis.

Why You're Not Married Yet? [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang