Dirga mengikuti arah pandang mataku yang terpaku kepada sebuah objek di belakangnya. Ketika Langkah Gibran semakin mendekat, aku buru-buru menghabiskan minuman. Aku tidak mengira Gibran menyusulku kemari. Kupikir dia sangat sibuk sampai tidak menghiraukanku seharian ini. Pada saat seruputan terakhir, aku nyaris tersedak. Dirga memperingatkanku supaya pelan-pelan, tapi aku tidak bisa tenang.
"Hai, Bang. Sorry, ganggu. Gue mau jemput cewek gue. Dia sudah punya janji sama gue mau beli mainan buat keponakannya hari ini," ujar Gibran yang menghentikan langkahnya di samping Dirga.
"Oh, silakan. Gue nggak tahu kalau Prisha punya acara sama lo." Dirga melirikku sekilas kemudian menatap Gibran sambil tersenyum, "Lo nggak mau duduk dulu?"
"Nggak, Bang. Makasih. Sudah diwakili sama Prisha yang duduk sama lo dari tadi," sahut Gibran lantas beralih pandang ke arahku.
Walaupun Gibran hanya menatapku tanpa berucap, aku paham dia ingin aku segera pergi dari situ. Sesudah berpamitan dengan Dirga, aku mengikuti Gibran melangkah. Dia berjalan cukup cepat membuatku harus berlari kecil untuk menyamakan langkah. Begitu aku berhasil menjejeri langkahnya, Gibran segera menyambar tanganku. Menautkan jemari kami dan memandang lurus ke depan.
Aku mengamati wajahnya yang tidak banyak ekspresi, tapi aku tahu dia marah. Rahangnya mengetat dan genggaman tangannya sangat kuat. Ngomong-ngomong, kenapa dia bisa tahu aku berada di kafe itu bersama Dirga?
"Jangan kayak gitu lagi. Gue sedih tahu," ucap Gibran lirih.
"Lo sepi banget hari ini. Kayak ngilang," balasku.
"Astaga, baru berapa jam sih, Sha. Gue hari ini lagi banyak kerjaan nggak sempat balas chat elo. Tadi pagi gue juga sudah sampai rumah lo, tapi lo sudah berangkat. Gue nggak ngilang, lo saja yang emang nggak kasih gue kabar."
"Lo juga nggak tanya."
Gibran melongo lantas mengembuskan napas kasar. Kami berbelok ke arah gedung kantor Maximum berada kemudian menuju parkiran motor. Tidak sedikitpun Gibran mengendurkan genggaman. Sepanjang perjalanan aku mendapati pandangan orang-orang ke arah tangan kami yang bertaut. Bagaimana tidak, dalam suasana perkantoran pemandangan seperti itu tentu cukup tabu meskipun tak sedikit orang mengalami situasi yang sama. Aku menundukkan wajah untuk menyembunyikan rasa malu.
"Kalau lo kesal, bilang sama gue. Jangan cari pelampiasan sama pria lain. Kan gue sedih," ucap Gibran saat kami tiba di parkiran.
"Iya, iya. Lo tahu dari mana gue pergi sama Dirga?"
"Gue lihat lo jalan sama dia, makanya gue langsung susul lo ke sana. Gue itu mau ajak lo makan di tempat yang enak. Yah, lo malah asyik tebar pesona sama Dirga. Sekarang lo balik sama gue saja. Mana kunci motor lo."
"Ya udah, ayo makan."
"Nggak jadi, deh. Gue males. Cepat, mana kunci motor lo."
Aku menyerahkan kunci motor kepada Gibran sambil memberengut. "Motor lo gimana?"
Tanpa sadar rupanya motor Gibran terparkir tidak jauh dari motorku.
"Gampang, gue numpang parkirin di sini dulu. Entar gue balik sini lagi kalau lo sudah sampai rumah. Yang penting lo bareng gue biar nggak ilang-ilangan ujungnya malah nyangkut di tempat orang. Gue yang bingung tahu. Kalau lo ilang yang ditanya pertama kali sama bokap nyokap lo itu bukan Dirga, tapi gue."
Seketika aku tercenung. Aku sadar selama ini dia sudah banyak berkorban untukku. Tetapi Gibran belum mengetahui sebuah fakta tentang hari kemarin saat pulang diantar Dirga. Aku belum mengungkapkan padanya. Mau sekalian bilang sekarang nanti dia tambah kecewa sedangkan aku tidak tega. Makanya, rahasia itu masih kusimpan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You're Not Married Yet? [Selesai]
Chick-LitKenapa kamu belum menikah? Sebuah pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku. Memangnya ada yang salah ya, ketika aku, Prisha Yudistia belum menikah di usia tiga puluh dua tahun? Orang bilang aku ini gila kerja, makanya belum menikah di umur yang sa...