Tidak banyak tempat yang bisa didatangi karena ketersediaan waktu. Dirga hanya membawaku ke pantai yang mirip Tanah Lot di Bali dengan alasan pantai ini buka 24 jam jadi bebas berkunjung kapan saja. Aku paham Dirga tidak mengajak berkeliling. Tentu saja dia ingin menghabiskan banyak waktu dengan ibunya ketimbang mengajakku jalan-jalan. Lagipula perjanjian kami hanya sebatas meyakinkan ibunya bahwa Dirga belum punya calon pasangan hidup.
Aku memberi ruang Dirga untuk memaksimalkan pertemuan. Aku tidak bertanya dan Dirga tidak memberi tahu jenis kanker apa yang diderita ibunya. Tubuh yang tinggal tulang berbalut kulit itu membuatku tak sampai hati. Sangat kurus. Aku segera menyingkir menuju taman di belakang rumah sembari membiarkan Dirga quality time dengan ibunya.
Suasana di sini lebih adem. Menikmati angin sepoi di siang hari dengan pemandangan tanaman rumahan yang tumbuh subut sangat menyegarkan mata. Kata Dirga, setiap satu minggu sekali ada orang yang khusus merawat taman makanya taman ini terlihat bersih dan nyaman. Taman di rumah ini memang dirawat sedemikian rupa karena penghuninya sangat menyukai tanaman. Aku membayangkan seandainya rumahku seasri ini. Pasti sejuk banget. Lumayan buat menetralisir pedasnya omongan tetangga, kan?
"Sha, ayo makan," panggil Dirga.
Aku dengar Dirga memanggil, tapi aku masih ingin menikmati hawa sejuk ini. Mendapati aku tak kunjung merespons lantas dia duduk di sebelahku.
"Rumah ibu kamu enak banget. Adem. Kenapa kamu nggak tinggal di sini saja? Jakarta kan penat banget," sahutku.
"Hasil keputusan pengadilan yang membuatku harus tinggal dengan ayah. Iya, sih. Aku punya cita-cita pergi dari Jakarta dan tinggal di kota yang nggak terlalu bising. Meninggalkan pekerjaan sekarang terus buka usaha. Menjadi bos untuk diri sendiri. Seru banget pasti."
"Kenapa? Gajinya kurang gede?"
Dirga menggeleng. "Bukan masalah gaji. Gimana ya, rasanya nggak puas saja kerja yang sangat taat pada peraturan."
"Manusia, ya. Memang nggak pernah puas," tawaku.
"Yang pasti kalau sudah berkeluarga nanti situasinya bakal beda. Kehidupan perkotaan yang gemerlap nggak cocok untuk tumbuh kembang anak. Sudah lama aku merencanakannya, tapi belum kesampaian. Nanti kalau sudah menikah saja, deh."
Rupanya Dirga sudah memikirkan kehidupan jangka panjang ke depan. Pria-pria sejati harusnya begini. Punya perencanaan matang serta opsi darurat untuk kehidupan di masa mendatang. Hanya saja dia belum menemukan pasngan hidup yang tepat. Kasihan. Semoga disegerakan niat baiknya.
Usai makan siang, aku dan Dirga pamit kembali ke Jakarta. Ibu Dirga memelukku sebelum kami meninggalkan rumahnya. Dia tidak mengatakan apa pun, hanya tersenyum menatapku. Dari sorot matanya aku melihat harapan. Barangkali dia ingin aku menikah dengan anaknya. Oh, astaga ge-er banget. Sekalipun Dirga memiliki kriteria menjanjikan sebagai suami, aku tidak bisa sembarangan memilihnya sebagai pasangan hidup.
Bik Dieneu membekali kami kue mochi dan kue jahe. Banyak sekali dia porsinya. Katanya untuk bekal perjalanan biar di jalan tidak kelaparan sekalian buat oleh-oleh. Dirga banyak diam saat perjalanan pulang. Aku tidak akan mengawali percakapan terlebih dahulu, bisa bahaya kalau salah momen.
"Mau tahu kenapa aku nggak jenguk ibuku setahunan ini?"
"Kenapa?"
"Terserah kamu mau percaya atau nggak, aku belum pernah pacaran. Tapi, bukan berarti aku nggak pernah naksir orang. Setahun lalu wanita yang aku taksir menikah. Dia teman masa kecilku, meskipun aku sudah pindah ke Jakarta kami tetap saling komunikasi. Pernah coba mengalihkan cintaku sama orang lain, tapi nggak bisa." Dirga terkekeh.
"Gila, kamu lebih cinta sama orang nggak jelas daripada ibu sendiri. Parah banget," decakku.
"Bukan gitu. Yah, gimana ya. Kamu tahu sendiri kan rasanya patah hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You're Not Married Yet? [Selesai]
ChickLitKenapa kamu belum menikah? Sebuah pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku. Memangnya ada yang salah ya, ketika aku, Prisha Yudistia belum menikah di usia tiga puluh dua tahun? Orang bilang aku ini gila kerja, makanya belum menikah di umur yang sa...