"Tumben lo minum kopi?" tegur Bang Rendi.
"Tumben lo datang pagi, Bang," balasku seraya menyeruput kopi dari cangkirnya.
Bang Rendi tertawa. Walaupun sering lembur dari pagi sampai pagi, aku jarang sekali minum kopi. Aku memilih minum air putih dan buah sebagai pengganti kopi. Jarang minum kopi bukan berarti aku tidak minum kopi sama sekali. Tidak tahu kenapa pagi ini aku pengin banget meneguk produk kafein satu ini.
"Masalah hidup lo kayaknya berat banget, ya? Sampai bela-belain minum kopi," lanjut Bang Rendi mengambil duduk di sebelahku. "Nih, gue beli gorengan. Kawin banget tuh minum kopi sambil makan gorengan."
"Gue nggak makan gorengan."
"Kalau lo pengin ngelupain masalah hidup, salah satu caranya adalah mengonsumsi makanan yang jadi pantangan lo selama ini. Lagian gorengan itu nggak haram, Sha. Lo nggak tiap hari makan juga. Percaya sama gue, lo pasti merasa lebih baik."
Aku menghela napas panjang. Sebenarnya masalah hidupku tidak terlalu berat, yang membuat berat adalah aku terlalu memikirkan komentar orang-orang. Masalahnya mereka mengejek keluargaku. Mbak Intan, aku, bahkan Papa dan Mama tak luput dari sasaran gosip. Dengan keadaan Mbak Intan saat ini, aku menjadi semakin pesimis dengan pernikahan.
"Mau dilupain kayak bagaimanapun kalau memang rezekinya itu masalah mampir di hidup gue, gue bisa apa?"
"Lo bisa berusaha untuk menyelesaikan masalah itu. Paling nggak lo harus berusaha, nggak cuma diam dan pasrah sama keadaan. Lo bisa cerita sama gue, Sha. Siapa tahu gue bisa bantu lo." Bang Rendi tersenyum. Aku terkekeh mendengar penawarannya.
"Lo perhatian banget sama gue sih, Bang."
"Kalau gue nggak perhatian sama lo, siapa yang bakal ngerjain proyek tender? Kalau menang itu tender, otomatis lo masuk tim gue. Gue nggak mau urusan kerjaan berantakan gara-gara lo terus mikirin urusan pribadi," ucap Bang Rendi.
"Hei, sialan lo, Bang. Masih saja sempat mikir kerjaan di atas penderitaan orang lain. Rese, lo!" seruku sambil memukul lengannya. Tidak peduli Bang Rendi lebih senior dariku, selama sikapnya menyebalkan aku tidak segan mengambil tindakan.
Bang Rendi tertawa terbahak-bahak. Sepertinya puas banget dan tawa Bang Rendi menular padaku. Lepas dan terasa ringan. Aku lupa kapan terakhir kali tertawa selepas ini. Mungkin aku kurang piknik, terlintas keinginan mengambil cuti untuk melepas penat sejenak. Namun aku yakin tidak akan terealisasi. Walaupun memasuki masa low season, kesibukan belum berakhir. Berbagai penugasan terus berdatangan. Panggilan kerjaan semakin menggila sedangkan panggilan jodoh tak kunjung tiba. Ah, sejak kapan aku merisaukan urusan percintaan? Kenapa sekarang jadi kepikiran?
Mengenai pengalaman buruk yang pernah kualami tentu saja aku tidak bisa terus-menerus berada di posisi seperti ini. Meratapi nasib, membatasi diri, tidak menerima kunjungan dari pria manapun. Setidaknya aku sudah mendapat pelajaran hidup, setidaknya Tuhan sudah mengingatkan, ketika segalanya sudah cukup barangkali kini saatnya aku mulai berkiprah.
Melirik ponsel di atas meja, hal pertama yang terpikirkan di benak adalah menghubungi Pak Dirga. Kuharap kali ini pria itu tidak sekadar menyapa. Dia sudah memberikan tanda, aku tinggal menanggapi dan memberikan respon. Tetapi, kalau aku memulai terlebih dahulu apakah itu tidak terlalu agresif? Seorang Prisha tidak pernah memulai sesuatu untuk memancing gairah pria. Kalau sekarang aku melakukannya, sebuah rekor sepanjang masa bakal terpecahkan. Oh tidak, aku masih punya harga diri.
Tentu saja aku tidak akan menyapanya terlebih dahulu jika tidak berkaitan dengan pekerjaan. Ya ampun, kenapa aku jadi ganjen? Namun, teringat kebersamaannya denga seorang wanita tempo hari membuatku mengurungkan niat. Akhirnya aku hanya mengetik-ngetik pesan tanpa ada keinginan untuk mengirim.
"Sha, gue mau beli kopi. Lo ikutan nggak?" sahut Gibran tiba-tiba duduk di atas mejaku sambil menggulir layar ponsel di tangan.
"Tadi pagi gue sudah ngopi. Lagian gue nggak fanatik sama kopi," cetusku.
"Lhah, nggak fanatik tapi tadi pagi ngopi. Lo gimana, sih?"
"Apaan, sih? Nggak, gue nggak ngopi. Gue nggak beli."
Gibran menoleh ke arahku sembari tersenyum tengil. Laki-laki satu ini memang sangat jail. Semua orang di kantor sudah pernah merasakan keisengannya. Tak terkecuali diriku.
"Gue traktir, deh. Kali ini saja, gue nggak pernah traktir lo, kan?" Sebelah matanya mengedip.
"Nggak. Gue nggak ngopi," sahutku ketus.
"Nggak ngopi bukan berarti nggak doyan, kan?"
Aku tidak memedulikan kicauan Gibran. Selama dia berada di kubikelku, aku tidak menggubris. Fokusku tertuju kepada layar laptop sementara fokus Gibran sepenuhnya tercurah pada ponsel. Gibran berlalu, yang kudengar dia sempat memanggilku. Aku sengaja memasang headset saat dia memanggil.
Tidak berapa lama kemudian ketika aku tengah konsentrasi, seseorang meletakkan sebuah kantung plastik bening di atas meja. Otomatis kutengadahkan wajah.
"Nih, kopi dan donat kentang buat lo. Gue traktir. Biar lo refreshing. Muka lo nggak bisa bohong, Sha. Kayaknya galau banget," celetuk Gibran terkikik.
Aku tercenung menatap isi bungkusan plastik bening itu. Lantas aku berucap pelan, "Makasih."
"You're welcome."
Kuawasi punggung Gibran saat berlalu. Tumben banget hari ini orang-orang baik banget sama aku. Tadi pagi Bang Rendi sekarang Gibran. Mereka benar-benar tulus atau ada udang di balik batu? Menarik napas panjang, aku mengambil donat dari dalam bungkusan. Aku mulai mengunyah, semoga Gibran tidak menaruh mantera guna-guna pada makanan ini. Dia tahu saja jam-jam segini aku sedang dilanda lapar.
Pak Dirga : Iya, ada apa?
Keningku mengerut membaca pesan singkat dari Pak Dirga. Kelihatan banget modusnya, kan? Tiba-tiba dia kirim pesan kayak begitu. Namun, sesudah aku cek percakapan sebelumnya ternyata aku yang menyapanya terlebih dahulu. Oh, astaga. Jadi, pesan yang iseng-iseng kuketik tadi terkirim? Padahal aku tidak memiliki niat mengirimnya.
Prisha : Nggak apa-apa.
Pak Dirga : Benar? Nggak ada yang ingin kamu sampaikan?
Prisha : Nggak.
Pak Dirga : Ok.
Aku menggigit bibir. Kukira setelah itu Pak Dirga bakal mengirim pesan lanjutan, tapi ternyata tidak ada perkembangan apa pun. Aku menahan diri tidak membalas pesannya. Pak Dirga sudah punya kekasih, tidak mungkin aku mengganggu. Nanti dituduh pelakor kemudian viral. Aku tidak mau membalas peristiwa masa laluku dengan bersikap sama seperti saat istri Ferdi merebut Ferdi dariku. Aku juga tidak mau bersikap murahan. Seolah-olah sangat membutuhkan Pak Dirga sampai mengejar beliau sebegitunya.
Hari-hari berikutnya, aku mulai melupakan Pak Dirga dan terbiasa tanpa pesan-pesan singkat yang singgah. Lebih tepatnya tidak ada waktu karena proyek tender berhasil didapatkan dan waktuku sebagian besar kembali tercurah kepada pekerjaan. Berada satu tim bersama Bang Rendi dan Gibran bukan sesuatu yang baru buatku. Akan tetapi kali ini rasanya berbeda. Apalagi sejak Gibran rajin menaruh sebuah donat di atas mejaku. Aku tahu karena dia menyelipkan secarik kertas di bawahnya. Anehnya, dia selalu memalingkan muka saat aku melewati kubikelnya.
Muncul pendatang baru, nih. Apakah Prisha bakal terdistraksi?
18.09.2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You're Not Married Yet? [Selesai]
ChickLitKenapa kamu belum menikah? Sebuah pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku. Memangnya ada yang salah ya, ketika aku, Prisha Yudistia belum menikah di usia tiga puluh dua tahun? Orang bilang aku ini gila kerja, makanya belum menikah di umur yang sa...