"Gibran.... Kenapa kamu diam saja? Nggak apa-apa kalau kamu mau marah, tapi jangan diam gitu. Ngomong, dong," panggilku seraya mengguncang lengannya.
Gibran hanya menatapku tanpa berkata. Memang terlambat untuk mengkui, tapi setidaknya aku berusaha menyampaikan informasi. Kali ini aku benar-benar merasa bersalah. Tak terhitung sudah berapa kali aku sering membuat Gibran kecewa. Gibran terlalu sabar menghadapiku. Sampai saat ini dia masih bertahan saja merupakan suatu keberuntungan untukku.
Lagipula itu terjadi tanpa direncanakan, tidak ada unsur kesengajaan. Bagian dari masa lalu terkadang memang menyakitkan untuk diceritakan, tapi itulah kenyataan kehidupan. Itu adalah yang terakhir, tidak ada rahasia lagi yang ditutupi. Tetapi jika Gibran sungguh tidak bisa menerima kemudian mengurungkan niatnya, aku tidak punya ide lagi.
Aku menunduk lesu hingga kurasakan sentuhan di kepalaku. Meskipun separuh wajahnya tertutup masker, aku tahu Gibran tersenyum terlihat dari sorot matanya. Duh, kayak begini yang bikin aku menciut.
"Selain itu ada lagi nggak? Katakan saja semuanya sekarang biar nggak ada salah paham. Nanti kalau kita sudah menikah jangan kayak gitu lagi, ya. Kalau ada apa-apa bilang sama aku ya, Sha. Aku juga akan bilang sama kamu biar kita sama-sama tahu," ujar Gibran terus mengusap kepalaku.
Setiap ucapan Gibran tak jarang membuatku tercenung. Bagaimana bisa ada manusia dengan tingkat ketenangan luar biasa seperti dirinya. Sebuah sisi lain yang tidak kutemukan ketika aku pernah bekerja bersamanya. Dalam pekerjaan pun aku tahu Gibran memang jarang mengumbar emosi. Kukira dia hanya menjaga citra diri supaya terlihat berwibawa. Namun, sesudah mengenalnya lebih dekat ternyata kepribadiannya memang seperti itu.
"Itu yang terakhir, sudah nggak ada lagi. Aku minta maaf kalau kemarin-kemarin sering bikin kamu kesal. Makasih kamu sudah sabar banget sama aku. Kamu tahu aku sangat bingung, tapi sekarang aku sudah memutuskan dan itu artinya aku ... aku siap berbakti sama kamu. Itu ... itu tugas utama istri kepada suami, kan?" ucapku tanpa melepas pandangan padanya.
Gibran semakin tersenyum lebar. Aku mendesah lega melihatnya. Cukup sudah atas semua yang telah terjadi, mulai detik ini aku tidak akan mengecewakannya lagi. Memang benar kata Mbak Intan, aku sangat beruntung menemukan pria sebaik Gibran. Ah, bukan aku yang menemukan, tapi Gibran yang menemukanku. Kuharap ini adalah rumahku setelah melewati berbagai macam rangkaian perjalanan mengiris hati.
Tidak akan lagi aku mengingat kenangan-kenangan buruk karena itu hanya akan menimbulkan pikiran negatif. Semuanya memang harus terjadi sebagai bagian dari rangkaian kehidupan. Untuk Dirga, seharusnya aku berterima kasih padanya. Bagaimanapun kehadirannya turut memberikan warna dan pelajaran berharga.
"Jadi nanti kalau ditanya kapan mau menikah, kamu mau jawab apa?" tanya Gibran seraya meraih tanganku ketika kami beranjak.
"Eum, pas satu tahun anniversary gimana?" usulku.
"Itu dua bulan lagi, ya? Terlalu lama, kamu pasti bakal lari terus tiba-tiba main ke tempat nggak jelas. Sha, aku harus mengikat kamu lebih cepat. Dua minggu setelah orangtuaku ketemuan sama orangtuamu saja gimana? Yang penting akad, kan. Perkara resepsi segala macam bisa diatur lagian situasi lagi darurat begini."
"Itu cepat banget, mana bisa siap-siap. Belum cari baju, beli seserahan, dekorasi...."
"Nggak usah aneh-aneh, tamunya paling cuma keluarga doang. Tetangga sama teman-teman buat pelengkap saja. Kan undangan terbatas nggak usah banyak-banyak pesertanya. Masalah baju sama seserahan entar aku temani carinya."
"Tapi ini kan sekali seumur hidup, paling nggak acaranya dibikin berkesan jangan asal yang penting akad, dong. Kan aku juga pengin ada momen."
"Iya terserah kamu, tapi aku nggak mau terlalu lama. Maksimal satu bulan, deh. Lewat itu risikonya terlalu tinggi."
"Oke, bos," sahutku kini beralih menyelipkan tangan di lengan Gibran membuatnya menatapku kian lekat.
Kali ini aku tidak lagi menghindarinya, membalas tatapan Gibran sesungguhnya merupakan sebuah kebanggaan. Aku menemukan sinar terang yang meneduhkan di sana. Bangga karena sinar itu ditujukan untukku. Aku melangkah di sampingnya tanpa merasakan keraguan sedikitpun.
Jodoh itu tidak selamanya sesuai dengan yang kita inginkan. Yang diharapkan, yang diidam-idamkan ternyata bukan dia orangnya. Terkadang hal yang menurut kita tidak baik justru itulah jodoh kita. Karena jodoh itu di luar ekspektasi. Mau diusahakan seperti apa pun kalau bukan jodoh ya tidak bersatu. Mau putus nyambung, mau dibuang ke mana pun, kalau ternyata sudah jodoh mau bagaimana? Aku tidak suka punya pasangan pria berusia lebih muda, tapi ternyata jika itu adalah takdir dari Tuhan, aku bisa bagaimana?
Yang jelas, kita tidak bisa menghakimi alasan seseorang belum menikah atau sudah menikah dengan orang tertentu. Percayalah, itu bukan bagian kita untuk berhak tahu. Semuanya akan berbahagia dengan caranya masing-masing.
Selesai
Holaa ... akhirnya selesai perjalanan cinta Prisha. Terima kasih yang sudah membaca ya ...
Setelah membaca cerita ini apa yang kalian rasakan?
Jangan lupa vote dan komentarnya ... Jangan lupa juga follow instagram @purpleefloo yah...
11.01.2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You're Not Married Yet? [Selesai]
ChickLitKenapa kamu belum menikah? Sebuah pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku. Memangnya ada yang salah ya, ketika aku, Prisha Yudistia belum menikah di usia tiga puluh dua tahun? Orang bilang aku ini gila kerja, makanya belum menikah di umur yang sa...