"Gue heran kenapa orang-orang pada mempertanyakan status single gue, sih? Memangnya aib banget bagi nusa dan bangsa kalau cewek seumuran gue ini belum menikah?"
Aku datang ke kantor pukul delapan pagi dan hanya menemukan Mas Agung—petugas kebersihan kantor. Dari balik kubikel, aku tak henti mencaci sendiri. Mengekspresikan diri, meluapkan perasaan akibat percakapan tadi malam. Entah, kalau Pak Dirga yang berkomentar tiba-tiba aku merasa kesal luar biasa. Padahal pendapat seperti itu sering kuterima dari berbagai macam jenis manusia.
"Ada apa to Mbak'e? Pagi-pagi sudah marah-marah," sapa Mas Agung dengan logat Jawa kental saat melewati kubikelku.
"Menurut Mas Agung wanita seumuran saya belum menikah itu wajar atau nggak?"
"Waduh, saya nggak bisa jawab Mbak'e. Wajar atau nggak itu bukan dilihat dari umur. Tetangga saya di kampung umur dua belas tahun ada yang sudah menikah, Mbak."
"Ah, itu kan dua belas tahun. Saya tiga puluh dua tahun lho, Mas."
Mas Agung menggaruk kepala. Dia terlihat kebingungan. "Ya, tiap orang punya keputusan masing-masing, Mbak. Kalau saya sih, kalau memang sudah siap menikah kenapa nggak?"
"Oke, terima kasih, Mas."
Mas Agung melanjutkan beres-beres ruangan sedangkan aku menyalakan laptop. Mencoba mengabaikan pemikiran yang tidak berfaedah, aku melanjutkan bekerja. Sungguh orang-orang yang mempertanyakan statusku saat ini sangat berpikiran sempit. Berbanding terbalik dengan zaman yang semakin modern.
"Lo nggak ke klien, Sha?" tanya Mbak Teya tiba-tiba sudah berdiri di sampingku.
"Nggak, Mbak. Hari ini kita kerja di kantor dulu. Nyokapnya Ardan masuk rumah sakit."
"Ya ampun. Terus kalian nggak ada masalah di sana, kan?"
"Nggak ada, Mbak."
Pak Dirga doang yang bikin masalah. Dalam hari aku mendumel. Mending dapat klien seperti Pak Mada. Orang-orang seperti dia justru berpikiran terbuka. Profesional dan tidak mengaitkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Heran saja kenapa berbagai kalangan memandang sebelah mata dengan wanita yang belum menikah.
Hari ini aku menolak lembur dan memilih pulang tepat waktu. Tidak langsung pulang ke rumah, aku mampir ke sebuah mal di kawasan Thamrin—sebuah tempat hiburan pekerja kantoran yang belum pengin pulang ke rumah. Namun, bagiku sama saja. Meskipun memilih mal sebagai destinasi pengusir lelah setelah bekerja, ujung-ujungnya aku mampir ke Starbucks. Mencari tempat duduk yang tidak bising lantas kembali menyalakan laptop. Membuka layar excel yang menjadi bagian hidupku.
"Prisha?"
Sebuah suara berat menyentak konsentrasi. Aku menengadahkan wajah. Seorang pria dengan setelan formal tersenyum kepadaku sambil menggenggam satu cup Caffe Americano. Aku hafal karena sering meemsan menu itu. Tanpa meminta persetujuan, dia menarik kursi lantas duduk di depanku.
"Hai, Pak Dirga," pekikku pura-pura excited.
"Kebetulan ketemu di sini. Sekalian saya mau kasih laporan aktuaris yang kamu minta. Nih, hardcopy-nya. Kebetulan barusan saya ketemuan sama beliau." Pak Dirga mengeluarkan fotokopi laporan aktuaris dari dalam tas.
"Terima kasih, Pak."
"Kenapa hari ini nggak ke kantor? Kamu baper gara-gara obrolan kita semalam, ya?"
Bola mataku melebar. Lantas aku berdeham. Pak Dirga tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Selain karena ketiadaan Ardan, perbincangan tadi malam sebenarnya cukup memengaruhi situasi psikoligisku. Siapa yang tidak jengah, hampir setiap hari disuguhi pertanyaan begitu. Apakah wajahku kelihatan tua banget sampai setiap orang menanyakan pertanyaan yang sama? Sungguh biasanya aku tidak mempermasalahkan, tapi semakin ke sini lama-lama aku jadi kepikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You're Not Married Yet? [Selesai]
ChickLitKenapa kamu belum menikah? Sebuah pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku. Memangnya ada yang salah ya, ketika aku, Prisha Yudistia belum menikah di usia tiga puluh dua tahun? Orang bilang aku ini gila kerja, makanya belum menikah di umur yang sa...