Hadirnya anggota baru di keluargaku memberikan nuansa tersendiri. Secara bergantian kami terbiasa begadang karena tangisan si kecil dari tengah malah hingga pagi. Walaupun aku tidak terlibat secara langsung, tapi mendengar tangisan keponakanku itu otomatis membuat mataku terjaga. Namun, aku tidak kesal karena kehadirannya sungguh memberikan warna baru di rumah. Meski aku cukup kesal bocah itu memiliki mata yang mirip dengan bapaknya.
"Lo habis ngeronda, Sha? Mata lo item gitu," tunjuk Bang Rendi saat aku menikmati seporsi bubur ayam di pantri.
"Iya, Bang. Sekarang gue punya keponakan. Setiap dia nangis tengah malam, gue ikut berasa begadang," sahutku.
"Wah, bagus. Anggap saja sebagai pemanasan kalau entar lo punya anak. Lo akan merasakan nikmatnya begadang ngurus anak. Biar nggak kaget gitu. Ngomong-ngomong, lo sama Gibran berencana nikah kapan?"
"Lo berlagak kayak sudah punya anak saja, Bang. Jangan-jangan diam-diam lo emang punya anak, ya? Hasil hubungan gelap begitu. Lo terlalu malu untuk memublikasikan jati diri lo yang sebenarnya."
"Sembarangan. Gue belum punya anak, gue masih perjaka, ya. Sebenarnya gue nggak perjaka-perjaka banget, tapi gue belum punya anak dan gue nggak suka hubungan gelap. Gue suka hubungan yang terang. Jadi, lo sama Gibran mau nikah kapan? Nggak baik kelamaan pacaran."
"Kapan-kapan. Lo berisik banget, sih. Mau tahu saja urusan orang."
Aku membuang bungkus styrofoam ke tempat sampah sebelum kembali ke kubikel. Hari masih pagi, tapi urusan pribadi sudah diusik. Itu sama saja merusak mood seharian. Dari balik kubikel, samar-samar kudengar suara Mbak Teya berbincang melalui saluran telepon. Aku mendengar nama Maximum disebutkan. Tampaknya mereka berniat mengajukan penawaran untuk pemeriksaan akhir tahun. Seketika perasaanku tidak enak.
Kuembuskan napas panjang, tidak terasa sebentar lagi akhir tahun tiba. Itu berarti aku harus bersiap menghadapi padatnya aktivitas kembali. Rutinitas tahunan yang membutuhkan tenaga ekstra. Aku harus mempersiapkan fisik, mental, jiwa, dan raga. Pasti akan menemui hari di mana aku harus beraktivitas seharian penuh atau bisa jadi lebih dari itu untuk kejar tayang menuntaskan laporan.
Saat ini pekerjaanku sedang tidak banyak dan aku merasa bosan tidak melakukan aktivitas pekerjaan sama sekali. Masih pukul sepuluh pagi, tapi aku butuh pencerahan untuk mengembalikan keceriaan hari ini. Berkelana ke taman mungkin adalah cara terbaik.
Prisha : Lo lagi sibuk nggak?
Aku mengirim pesan itu kepada Gibran. Tiba-tiba aku ingin mengobrol dengannya.
Gibran : Lumayan, sih. Kenapa?
Prisha : Gue lagi gabut, cuma pengin ngobrol. Ya udah, deh. Lanjutin aja kerjanya.
Pada saat itu juga ponselku berdering. Satu hal yang aku salut dari Gibran adalah dia selalu berusaha menyempatkan diri dalam situasi apa pun. Meskipun kadang keadaannya tidak memungkinkan sampai aku pernah bilang padanya tidak perlu memaksakan diri kalau memang keepntingannya lebih prioritas. Toh, tidak jarang permintaanku hanya untuk sekadar bersenang-senang atau mengisi waktu luang.
"Lo gabut kenapa?"
"Nggak ada kerjaan, tapi kalau kebanyakan kerjaan juga nggak suka."
Gibran tertawa. "Nggak jelas lo. Lo butuh piknik, Sha. Menyambut peak season pikiran lo mesti lebih positif. Lo pengin pergi ke mana gue temani, deh."
"Gue bingung. Ke mana, ya?"
"Pikirin dulu, dah. Gue balik kerja lagi, ya. Lirikan bos gue maut banget, sumpah."
Gibran mematikan sambungan. Iya, sepertinya aku butuh refreshing untuk menetralisir pikiranku. Sebenarnya aku ingin mengungkapkan kegelisahan terkait pengerjaan proyek Maximum. Belum pasti, tapi bukan tidak mungkin aku kembali dikirim ke sana untuk tugas yang sama. Namun, aku khawatir kalau cerita tentang prasangka ini justru mengusik konsentrasi Gibran yang sedang bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You're Not Married Yet? [Selesai]
أدب نسائيKenapa kamu belum menikah? Sebuah pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku. Memangnya ada yang salah ya, ketika aku, Prisha Yudistia belum menikah di usia tiga puluh dua tahun? Orang bilang aku ini gila kerja, makanya belum menikah di umur yang sa...