Ohoo... update lagi sehari dua kali, nih. Mumpung sudah ada di draft jadi publish aja, kan.
Ayo ramein, dong. Kalian komentarin aja cerita ini ya, jangan komentarin hidup orang apalagi nyinyir kayak tetangganya Prisha.
😜😜😜
Pulang kerja, aku menjumpai Mbak Intan tidur pulas di kamarku. Aku menghela napas panjang. Untuk yang ke sekian kali Mbak Intan datang ke rumah tanpa suami. Sudah sering terjadi, Mbak Intan kabur menghindari suaminya. Padahal Mbak Intan sedang hamil, usia kandungannya menginjak lima bulan. Yang kutahu Mbak Intan dan suaminya sudah lama terlibat pertikaian, tapi Mbak Intan terus mempertahankan. Hingga Mbak Intan hamil pun tampaknya tetap tidak mampu meredam.
"Cerai?" pekikku pada esok harinya ketika sarapan.
Mbak Intan mengangguk lemah, tangannya memegang perut. Sementara di seberang sana kulihat wajah Papa memerah. Ayah mana yang tidak marah melihat putrinya diperlakukan tidak benar oleh suaminya. Dirawat dari kecil, disayang-sayang, setelah menikah berharap suaminya bisa menjadi tumpuan keluarga, namun kenyataannya malah disia-sia.
"Dari awal Papa sudah nggak setuju kamu menikah sama dia. Makanya kalau orang tua ngomong itu jangan dibantah. Kamu nggak nurut sama Papa, sih. Jadinya kayak begini, kan?" ucap Papa sambil mengaduk kopi.
"Darian nggak kayak begitu sebelum menikah, Pa. Aku nggak tahu kalau dia sangat kasar dan suka main perempuan." Mbak Intan mulai terisak, aku menyentuh pundaknya untuk menenangkan.
"Sudahlah, tinggalkan saja suamimu itu. Tugas laki-laki itu mencari nafkah buat keluarga, masa kamu yang kerja sedangkan dia cuma foya-foya. Papa masih bisa kasih makan dan menanggung biaya hidup kamu. Laki-laki brengsek macam Darian harus dikasih pelajaran. Buat kamu juga ini, Sha. Jangan tiru kakakmu, jangan mau menikah sama pengangguran. Bikin bencana saja," sambung Papa.
Mbak Intan semakin terisak. Usia pernikahan kakakku sudah menginjak sepuluh bulan. Permasalahan mulai timbul ketika Mbak Intan meminta suaminya mencari pekerjaan karena selama ini hanya Mbak Intan yang berpenghasilan. Namun, Darian—suami Mbak Intan malah tersinggung. Sejak saat itu dia mulai bertindak kasar dan selingkuh dengan alasan Mbak Intan tidak bisa melayani sepenuhnya di rumah.
Berbagai macam masalah sesudah menikah pasti akan datang bergantian. Menikah tidak hanya perihal kesiapan mental serta komitmen dua manusia, melainkan juga kesiapan materi untuk pertahanan hidup berumah tangga. Usiaku dengan Mbak Intan hanya selisih satu tahun. Persiapan perceraian Mbak Intan membuatku semakin skeptis tentang pernikahan. Aku masih beruntung memergoki Ferdi selingkuh saat kami masih pacaran. Kalau sudah menikah, bisa panjang urusannya. Mungkin ini adalah salah satu alasan Papa dan Mama tidak menuntutku cepat menikah, tapi justru lingkungan sekitar yang sering komentar.
Hari-hari berikutnya, aku menemani Mbak Intan hadir di sidang perceraian karena Darian sering mangkir. Aku kasihan melihat perut Mbak Intan yang semakin membesar sekaligus kesal dengan kelakuan Darian. Ekspresi wajahnya mengingatkan pada Ferdi, memotivasiku ingin mengguyur tubuhnya dengan cairan bensin lantas kubakar hidup-hidup. Dasar pria tidak bertanggung jawab.
"Entar lo nggak usah jemput gue, Sha. Kayaknya gue lembur. Biasa akhir bulan," ucap Mbak Intan saat aku mengantarnya ke kantor.
"Lo kabari gue saja kalau mau balik, Mbak. Gue jemput nggak apa-apa, kok. Lo kan tahu gue sering pulang malam. Pernah pagi malahan," sahutku.
"Gue bisa naik ojol atau taksi, Sha. Biasanya juga begitu. Lo tenang saja."
Bukannya apa-apa, aku hanya tidak tega melihat kondisi Mbak Intan yang sedang hamil. Lagi pula kantor kami masih satu kawasan. Daripada dia pulang naik transportasi umum atau ojol mending bareng sama aku, kan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You're Not Married Yet? [Selesai]
ChickLitKenapa kamu belum menikah? Sebuah pertanyaan yang sering ditanyakan kepadaku. Memangnya ada yang salah ya, ketika aku, Prisha Yudistia belum menikah di usia tiga puluh dua tahun? Orang bilang aku ini gila kerja, makanya belum menikah di umur yang sa...