Dua Puluh Enam

12.5K 1.9K 141
                                    

            Aku cukup beruntung karena Maximum adalah salah satu klien yang kooperatif. Membuatku tidak kesulitan menyelesaikan. Tidak jarang aku menemui beberapa perusahaan yang berkelit tidak jelas dalam proses mendapatkan sebuah informasi. Beralasan sibuk, menggantikan karyawan yang sudah resign sehingga mengklaim dirinya tidak paham, merasa bukan tugas utamanya, dan lain-lain. Kalau ingin hasil yang baik seharusnya saling bersinergi satu sama lain. Biar sama-sama enak.

Selama di sini, aku merasakan kemudahan mengakses data dan informasi. Sungguh lancar seperti tahun sebelumnya, entah karena keberadaan Dirga secara personal atau orang-orang di sini pada dasarnya memang cekatan. Hampir setiap hari bertemu perlahan aku terbiasa dengan keberadaan Dirga. Yah, dia memang berperan sebagai pintu masuk untuk menuju ke segala divisi.

Kali ini aku memilih pulang lebih cepat, menolak lembur karena sebagian besar target sudah bisa dikendalikan. Aku membagi pandangan antara arloji dan gemericik air yang bertambah deras. Hampir petang, jalanan padat, intensitas hujan juga lumayan, aku tidak yakin Gibran bisa tiba tepat waktu. Pasti dia cukup kesulitan menghampiriku ke sini. Mungkin sebaiknya aku naik taksi saja daripada merepotkan dia terus.

Ketika tanganku menggulir layar untuk mencari aplikasi taksi online, sebuah mobil berhenti di depanku. Pengemudinya menurunkan kaca mobil. Dia menawariku tumpangan.

"Bareng, yuk," ajak Dirga.

Tanganku menggenggam ponsel. Jika aku memutuskan masuk ke dalam mobil itu, aku yakin akan ada banyak hal yang terjadi. Lagipula Gibran belum tentu menjemputku tepat waktu meskipun dia belum memberitahu. Pasti dia sedang berteduh terlebih dahulu. Mendengar Dirga memanggil namaku, akhirnya aku memutuskan mengikuti.

Begitu mobil meluncur menuju pintu keluar, samar-samar aku melihat Gibran melewati pintu masuk khusus motor. Kepalaku menoleh mengikuti arah motor bergerak hingga tidak lagi terlihat. Itu beneran Gibran, kan? Padahal aku baru saja hendak berkabar kalau dia tidak perlu menjemputku. Aku menggigit bibir, mengingat mantel yang dipakai Gibran terlihat basah kuyup. Pasti dia kedinginan. Apa lebih baik aku turun di sini saja, ya?

"Kenapa, Sha?" tegur Dirga.

"Oh, nggak apa-apa. Hanya ada beberapa hal yang sedang aku pikirkan," sahutku.

Dengan cepat aku mengetik pesan untuk Gibran. Ini terjadi di luar rencana, aku tidak punya niat begini sebelumnya. Aku mulai resah saat pesanku tak kunjung dibalas. Dirga terus mengawasiku.

Gibran : Ya udah nggak apa-apa. Hati-hati, ya.

Aku mendesah lega membaca pesan tersebut. Yang Gibran tahu aku pulang menggunakan taksi, bukan bersama Dirga. Tenang saja, aku tetap akan memberitahunya suatu saat nanti.

"Kamu kayak nggak nyaman gitu," tanya Dirga yang tak henti mengamati tingkahku.

"Ah, biasa saja," jawabku seraya menyimpan ponsel ke dalam tas.

"Gibran?" tebak Dirga dan aku mengangguk. "Kalian awet juga, ya. Tenang, Sha. Nanti aku yang jelasin kalau Gibran marahin kamu. Lagian aku cuma mengantar kamu pulang."

"Gibran ... nggak pernah marahi aku. Kalau tiba-tiba dia marah, aku bakal nyalahin kamu. Pokoknya semuanya gara-gara kamu," cetusku.

Dirga tertawa, otomatis aku segera menoleh. Demi apa pun, sudah lama aku tidak mendengarnya tertawa. Melihat senyumnya juga entah kapan terakhir kali. Dirga memang lebih suka tersenyum sembunyi-sembunyi dalam artian dia jarang melepaskannya. Tawanya juga lirih, tapi tidak pura-pura.

"Sebenarnya kamu bisa menolak kalau nggak mau," ucap Dirga sedikit mengerling ke arahku.

Memang benar, tapi selama tidak ada tujuan terselubung seharusnya bukan menjadi persoalan serius. Obrolan semacam ini bakal tidak akan berujung, aku memilih bungkam daripada melanjutkannya. Aku terus diam sepanjang perjalanan. Tanpa dikasih arahan pun rupanya Dirga masih mengingat di mana letak rumahku. Sampai di sini tidak ada hujan, jalanan benar-benar kering.

Why You're Not Married Yet? [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang