previous

1.7K 62 37
                                    

Gue, Amora Novita Mukhlis. Dulu hidup gue begitu bahagia. Dari kecil sampai.....ya sampai akhirnya kebahagiaan itu hilang dari hidup gue.

Hidup terus berjalan. Langkah kaki ini tidak boleh sampai berhenti. Meski berat gue harus bisa menghadapi hidup yang sudah Tuhan takdirkan untuk gue. Karena sejatinya dunia adalah tempat seleksi para manusia - manusia yang dilahirkan dimuka bumi ini.

Perubahan dalam hidup gue, kebahagiaan yang terkubur bersama dengan jasat Papa. Setelah Papa gue pergi meninggalkan gue , Mama dan juga kedua adik gue, kebahagiaan di keluarga kami itu luntur. Tidak ada lagi tawa canda.

Papa gue meninggal ketika gue baru masuk SMP. Papa meninggal secara tiba-tiba. Kata teman kantornya, pagi itu Papa mengeluh pusing. Dan siangnya Papa sudah merebahkan kepalanya di atas meja kerjanya. Orang-orang disana waktu itu berfikir kalau Papa sedang beristirahat.

Tidak mau mengganggu tidur Papa karena kasihan tadi kata Papa dia pusing. Jadi, rekan kerja Papa membiarkan Papa untuk tidur sebentar.

Tapi karena terlalu lama dan merasa ada hal yang aneh, merekapun mencoba membangunkan Papa. Dan nyatanya, Papa benar-benar tidur untuk selama-lamanya. Sungguh, kematian itu tidak bisa ditebak kapan datangnya.

Setelah Papa meninggal, gue yang sebagai anak sulung harus bisa menggantikan peran Papa. Jagain Mama dan adek-adek gue, bantuin Mama mencari nafkah, dan sebagainya. Yang semua itu nggak gampang gue jalanin. Nggak segampang bibir ini berkata ikhlas.

Gue yang dulunya anak manja kesayangan Papa, berubah menjadi gadis tomboy yang menguasai jurus-jurus karate dan semacam bela diri. Gue pelajari semua. Itu gue lakuin untuk melindungi Mama dan adek-adek gue dari kejahatan dunia. 

Tidak ada lagi senyuman dan keceriaan dalam diri gue. Hal itupun membuat teman-teman gue menjauh dari gue yang katanya kini temparamental.

Tapi gue nggak memperdulikannya. Gue tetap menjalani jalur gue tanpa mengganggu orang lain. Jadi, kalian juga jangan ganggu gue.

Satu tahun Papa pergi, bukanlah waktu yang singkat bagi gue pribadi. Hari-hari yang sangat berat gue lewati tanpa ada Papa di setiap hari gue sekarang.

Mungkin karena gue anak Papa yang sangat dekat dengan Papa. Terlebih gue anak pertama dan juga satu-satunya anak perempuan.

Hidup gue semakin rumit setelah kemunculan seorang pria yang berstatus duda anak dua mendekati Mama.

Gue sadar, dia bisa membuat Mama dan terutama adek-adek gue bisa bahagia. Bisa tertawa lagi. Tapi tidak dengan gue. Hati gue sangat keras dan nggak bakal bisa luluh dengan semudah itu.  Bagi gue, tidak ada orang yang bisa gantiin Papa.

Gue sangat membantah hal itu. Tapi apa daya gue. Mama dan adek-adek gue udah terlanjur luluh sama dia.

Bagi adek-adek gue yang waktu itu masih berusia 8 dan 6 tahun, laki-laki dewasa yang seumpama ayahnya sangat mereka butuhkan. Tapi gue nggak butuh itu. Gue bisa hidup tanpa seorang Ayah. Meski berat sekalipun, gue akan jalanin sendiri.

"Pokoknya Amora nggak restuin Mama sama Om Andra! " Gue berucap dengan tegas waktu Mama meminta izin buat nikah lagi.

"Mama mohon, sama Kakak. Om Andra itu orangnya baik. Dia nanti bisa jagain kita. " Mama terus memohon pada gue.

"Amora bisa lindungi kalian. Kita nggak butuh orang lain, ma. "

"Kalau menurut kamu, kamu mampu. Tapi Mama nggak yakin, kak. Kamu itu masih anak-anak, perempuan pula. Kamu harus lebih fokus sekolah. Kejar cita-cita kamu. Kita butuh laki-laki dewasa di keluarga kita, Kak."

Dan pada akhirnya dia menang, gue kalah. Bukan kalah, tapi mengalah. Gue menyerah berdebat sama Mama. Gue juga melihat kebahagiaan adek-adek gue bersama dia. Dan nggak tega rasanya jika gue mehancurkan kebahagiaan itu sekali lagi.

Percuma, gue tetap kalah. Karena hanya gue satu-satunya anak yang menolak pernikahan itu terjadi. Gue berharap dia nggak bakal mengecewakan Mama dan adek-adek gue. Kalau itu sampai terjadi, gue bakal buat hidupnya lebih sengsara dari kami.

Ketika gue kelas dua SMP, Mama pun menikah dengan Om Andra yang udah punya anak dua itu. Umur dia 30 tahun. Enam tahun lebih muda dari Mama. Anak pertamanya baru berusia 6 tahun. Sama besar dengan Nevan, adek bontot gue. Dan anak keduanya, berumur 3 tahun.

Ketika acara pernikahan itu berlangsung, gue lebih memilih untuk berada seharian dimakamnya Papa. Sendirian.

Sorenya gue sampai di rumah acara sudah selesai. Para tamu juga udah pada bubar. Keluarga dan kerabat satu persatu udah mau berpamitan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing.

Gue acuh aja ngelewatin orang-orang itu yang gue memang tidak terlalu kenal dan dekat sama mereka.

"Kakak dari mana aja? " tanya dia yang membuat gue berhenti melangkahkan kaki ditangga.

Tatapan sinispun gue berikan padanya. " Yang boleh memanggil saya Kakak, hanya Mama, Rifki, Nevan dan juga Papa saya. Anda adalah orang asing. " Beberapa orang yang berada disekitar itu tentu menatap gue dengan tatapan yang bermacam - macam.

Dia membalas dengan sebuah senyuman. " Lain kali, kalau mau pergi pamit dulu. Tadi Mama dan yang lain mencari kamu. " Nada suaranya masih terdengar lembut tanpa ada penekanan.

"Om memang udah jadi suami Mama saya. Tapi Om nggak berhak ngurusin hidup saya. Nggak usah atur-atur saya karena Om tetap tidak akan menjadi Ayah saya." Gue sedikit membentak dan menatap dia dengan penuh kebencian.

Gue melanjutkan langkah gue menaiki anak tangga untuk menuju kamar gue yang berada di lantai atas. Gue nggak peduli akan penilaian orang terhadap gue yang berada di dekat sana tadi. Yang mereka pasti bisa dengar dan melihat jelas perlakuan gue kepada Om Andra tadi.

Sampai dikamar, Gue menatap foto Papa yang tertempel diatas kepala tempat tidur. Air mata gue biatkan jatuh begitu saja. Seharian dimakam Papa tidak mengurangi rasa rindu itu untuk Papa.

AMORATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang