110-16

100 16 2
                                    

And the coffee's out
At the Beachwood Cafe
And it kills me 'cause I know we've run out of things we can say
What am I now? What am I now?
What if I'm someone I don't want around?
I'm falling again, I'm falling again, I'm falling
What if I'm down?
What if I'm out?
What if I'm someone you won't talk about?
I'm falling again, I'm falling again, I'm falling

-Harry Styles, Falling-

***

Shita menundukkan kepalanya, sebelah tangannya memegang dadanya yang sesak. Matanya masih menutup rapat. Kepalanya pusing bukan main seperti tubuhnya dihempas pada dinding padahal tubuhnya sejak tadi diam di tempatnya. Ia bahkan harus bernafas menggunakan mulutnya. "Bri, kamu di mana?"

Ia tidak mendengar suara Brian yang sedari tadi memanggil namanya. Shita mengangkat kepalanya, matanya yang memerah menatap sekelilingnya berusaha mencari apa yang ia cari. Pandangannya mulai tak tentu arah. "Bri, kamu di mana?" ucapnya lagi. Ia berteriak sembari menutup telinganya ketika suara tembakan bermain di dalam pikirannya. Shita benci ini, ia kembali berteriak saat suara teriakan kesakitan beserta adegan yang tidak pernah Shita ketahui itu adegan apa kembali berputar di pikirannya. Ia membenamkan wajahnya di antara lututnya dengan kedua tangannya yang menutup rapat telinganya. Tubuhnya sakit semua. Tepat ketika sebuah pistol dihadangkan di depan hidungnya, Shita berteriak parau. "Brian, tolong aku!"

Brian menepikan mobilnya setelah berhasil melarikan diri. Ia yakin jaraknya dengan mobil yang mengikutinya sejak tadi sudah sedikit jauh dan tempatnya saat ini tergolong dekat dengan apartemennya. Hal inilah yang juga menguntungkan bagi dirinya untuk segera bertemu dengan teman-temannya. Brian melepas seatbelt Shita lalu menarik perempuan itu agar menghadapnya. Brian mengangkat dagu Shita, tangannya terulur untuk menghapus air mata yang terus mengalir di wajah perempuan itu. Brian tersenyum sedih, beban yang dipikul Shita pasti lebih berat dari bebannya. "Ta, lihat aku. Aku di sini," ujarnya lembut. Ia melihat Shita mengerjapkan matanya beberapa kali.

"Di mana? Aku sendirian." SHita tersesat di dalam dunia yang tercipta di pikirannya. Terjebak bersama adegan traumatis yang Shita sendiri tidak tahu kapan dan di mana itu terjadi. Ia sudah berusaha untuk beranjak dari sana, mencari Brian yang entah berada di mana. Pandangannya sedari tadi buram.

Brian menggenggam kedua tangan Shita. "Hei, aku di sini." Suara Brian semakin melembut. Shita memang menatapnya. Namun, Brian tidak lagi melihat netra yang biasa ia lihat. Shita menatapnya dengan pandangan campur aduk. Wanita itu ketakutan dan bingung.

Shita meremas kuat tangan Brian. "Jangan pergi," ucapnya lemah.

"Aku di sini, sekarang tarik nafas kamu, tenangkan pikiran kamu," Brian masih menggenggam tangan Shita, matanya sedari tadi tidak lepas dari wajah perempuan di depannya yang sudah berantakan. Dahi Shita penuh dengan keringat, ia bisa bernafas lega saat perlahan kerutan di dahi Shita menghilang perlahan seiring dengan deru nafasnya yang mulai teratur. "Semuanya baik-baik saja kan?"

"Jangan pergi, aku takut, aku benar-benar mau dibunuh! Mereka bawa pistol, Bri."

"Ta, aku di sini. Aku jamin sebelum mereka nyakitin kamu, mereka harus nyakitin aku terlebih dahulu. Partha sama yang lain lagi di perjalanan ke mari, jadi nggak ada yang perlu ditakutkan."

Shita memalingkan wajahnya untuk menatap ke luar mobil, detik berikutnya nafasnya kembali tidak beraturan. "Bri, ini gu-dang?"

"Aku hafal dae-"

"TETAP AJA INI GUDANG!" Shita melepas tangannya dari genggaman Brian, kedua tangannya naik untuk menutupi telinganya. Ia menangis lagi, Shita tidak pernah suka saat telinganya hanya mendengar suara angin. Ia tidak pernah suka sepi.

110 : Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang