110-13

159 28 2
                                    

I will never know if you love me
Or my company, but I don't mind
Cause I ain't tryna be the one
Been through this a thousand times
I don't need a take your heart
You keep yours I'll keep mine

All I really know is when I'm lonely
I hate that I'm lonely
And that's why I let you in
And maybe in another life we fight all day, kiss all night
-NIKI, Lose-

***

Suara dentuman lonceng terdengar, bagai hantaman kuat di kepala. Daun yang jatuh perlahan saja berhasil membuat kepalanya serasa ingin pecah. Suara auman terdengar, ia tidak tahu berasal dari mana. Benar-benar menyakitkan. Ini terlalu sesak, ia hanya tahu rusak. Pecahan demi pecahan menusuknya sampai bagian terdalam. Manusia lain hanya mengeluarkan ucapannya yang menyayat. Tidak ada ucapan ulang tahun. Tidak ada ucapan baik untuknya. Ia menutup kedua telinganya kencang, lebih baik diam daripada kata-katamu menyakiti! Ia berteriak. Tidak, tidak ada yang peduli. Kejadian-kejadian terputar berulang membentuk pusaran. Sampai rasanya perutnya mual dan matanya berkunang. Kekhawatiran itu datang lagi. Keringat dingin kembali menyapa kening. Hanya manusia yang mematahkan mental manusia lain.

Di dalam pintu putih itu ada raga yang menangis. Kepalanya menunduk, bertopang pada kakinya yang tertekuk. Dalam rongga mulutnya hanya terasa anyir. Setiap tiga detik gemeletuk giginya terdengar. Tubuhnya tidak lagi sakit karena berlama-lama duduk, hatinya jauh lebih sakit. Jauh lebih remuk. Semua pikirannya berkumpul menjadi satu membentuk pusaran yang siap menelannya. Ia terus menghitung mundur tentang kegelapan yang akan membawanya pergi. Kupu-kupu dalam semestanya sudah melenggang pergi. Meninggalkan ia sendiri di bawah awan hitam. Semestanya meredup. Tidak ada manusia lain. Hanya serangga tanah yang berbunyi tanpa peduli dengannya.

Ia menangis? Tidak. Air matanya sudah mengering. Ia tidak lagi merasakan apapun. Perasaannya sudah membeku. Ia hanya tubuh yang isinya kosong. Semua jiwanya diambil alih oleh pikiran-pikiran yang tidak tahu diri. Hinggap tanpa tahu waktu. Membiarkannya hidup lalu mati membusuk. Jangan berharap tembok kamarnya penuh dengan warna cerah. Ia hanya melihat warna hitam. Jangan berharap pakaian yang dipakainya akan berwarna cerah. Ia hanya memakai warna hitam.

"Siapapun bantu aku"

"Siapapun tolong aku"

Lirih. Lirih sekali. Mungkin hanya ia yang bisa mendengarnya. Tidak ada siapapun di sekitarnya. Ia seorang diri. Meratapi hidupnya. Menanti kematiannya. Tepat saat tubuhnya menyatu dengan air, rongga dadanya sesak bukan main. Ia terbatuk. Berusaha menggapai dasar dengan kedua tangannya yang lemah. Ia tidak boleh begini. Ia harus bangkit.

***

Shita masih terduduk di belakang pintunya dengan tubuh gemetar. Ia tidak pernah mengira kejutan yang direncanakan Brian dan kawan-kawannya akan berdampak seperti ini baginya. Nafasnya masih memburu meskipun putaran adegan dalam kepalanya sudah berhenti beberapa detik yang lalu. "Ma, a-aku udah sembuh kan? Ma aku nggak kambuh lagi kan?" ujarnya entah pada siapa. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya secara perlahan sebanyak yang ia bisa.

"Ketakutan lo nggak nyata. Masa buruk lo nggak bakal terulang. Ta, jangan takut. Lo kuat!" ujarnya lagi kali ini untuk dirinya sendiri. Ia mengusap sisa air matanya lalu tersenyum. Shita tahu menghabiskan sisa hari ini sendirian hanya akan mendatangkan pikiran-pikiran yang tidak ia inginkan.

Shita berdiri, sebelum membuka pintu ia berdoa semoga semuanya baik-baik saja. Ia tidak boleh berkawan dengan rasa khawatirnya. "Hi guys! Get in!"

Partha adalah orang pertama yang melihat Shita. Perempuan itu benar-benar berantakan. Ia tersenyum tipis. "Let's get it. Guys, c'mon!" ucapnya dengan nada semangat. Bagaimanapun caranya ia harus mencairkan suasana. Memang itu adalah keahliannya.

110 : Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang