110-21

70 12 0
                                    

Can't we just talk?
Can't we just talk?
Talk about where we're goin'
Before we get lost
Let me out first
Can't get what we want without knowin'
I've never felt like this before
I apologize if I'm movin' too far
Can't we just talk?
Can't we just talk?
Figure out where we're goin'
-Khalid, Talk-

***

Perempuan itu gelisah di atas kasurnya. Sudah beberapa kali badannya bergerak ke kanan dan kiri berusaha mencari posisi yang nyaman agar cepat terlelap. Bukannya terlelap, tubuhnya malah menolak untuk istirahat. Ia bangkit dan berjalan di tengah keremangan kamarnya menuju jendela. Ia menyibakkan tirai lalu termenung menatap jalanan di depannya. Hatinya gelisah. Kepalanya penuh seperti bandara. Suara-suara hinggap lalu terbang. Shita mendesah, apa benar ia sudah membiarkan Brian menguasai hidupnya?

Ponselnya berdering. Ia biarkan sampai suara deringnya menghilang. Selang beberapa detik, deringnya kembali terdengar. Shita masih menatap keluar jendelanya. Tidak peduli tangannya mulai mendingin. Kepalanya butuh didinginkan. Setidaknya untuk sadar bahwa yang dilakukannya malam ini adalah kesalahan.

Terkadang, manusia terjebak dalam suatu keadaan di mana ia tidak tahu apa-apa. Untuk sekedar melangkah atau mundur saja tidak bisa ia putuskan. Berada di tengah-tengah kebingungan yang menghitam. Tubuhnya perlahan membiru sebelum akhirnya membeku. Begitulah Shita malam ini, ia tidak tahu apa yang melandanya. Mungkin jika seseorang bertanya kepadanya kenapa, Shita hanya akan diam saja. Untuk menceritakan kepada dirinya sendiri saja ia tidak tahu apa yang harus diceritakan.

Semua akan baik-baik saja. Lo hanya perlu menarik diri lo keluar, Ta.

Shita membuka pintunya. Ia perlu segelas air atau apapun yang bisa memecah pikirannya. Ia mengambil segelas air kemudian melangkah kembali ke ruang tengahnya. Mungkin menonton televisi bisa mengalihkan pikirannya. Tangannya mencengkram erat gelas kaca yang ia bawa, matanya seketika panas. Brian masih di sana. Duduk menatapnya dengan tatapan terluka. Shita segera menetralkan air mukanya ketika keinginan memeluk Brian menyelusup keluar.

"Can't we just talk?"

Hancur sudah pertahanan Shita. Tangannya semakin erat mencengangkan gelas. Ia menatap Brian sama dengan cara laki-laki itu menatapnya. Bibirnya masih terlalu kelu untuk bersuara. Ia hanya membiarkan detik demi detik berlalu dalam hening.

"Aku minta maaf. Mungkin, memang waktunya aku pergi. Selamat menikmati hidup kamu, Ta. Aku pergi."

Pandangan mata yang terlepas itu membuat Shita sakit di dada. Punggung yang menjauh itu membuat Shita ingin melangkah kemudian memberikan pelukan sebelum benar-benar berpisah. Apakah memang ini akhir dari kisahnya? Shita masih diam, benarkah memang ini yang ia ingin?

"Bri, tunggu."

Brian menghentikan langkahnya. Ia tidak berbalik, ia tidak yakin bisa menahan diri jika kembali menatap wajah Shita. Ia hanya diam, memikirkan bagaimana kelanjutan kisahnya. Jika berhenti di sini, Brian sungguh tidak rela. Namun, jika melanjutkan, ia jauh tidak rela melihat Shita terluka karenanya.

Saat pelukan hadir menyapa punggungnya. Brian hampir menitikkan air matanya. Ia bahagia juga sedih. Shita yang menangis di punggungnya mengisyaratkan dua hal. Perpisahannya sudah dekat atau perempuan itu tidak mau dirinya pergi. Brian melepas pelukan Shita kemudian berbalik. Membiarkan Shita menangis di dadanya. Ia berkali-kali mencium puncak kepala Shita. Membisikkan harapan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Jika memang sudah waktunya, mereka berdua bisa apa?

110 : Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang