110-23

63 13 0
                                    

Drowning in the dark
Self-proclaimed bad luck
This is hell
Please turn away

Plеase leave mе now
At the painful end of this tragedy
Run, run, run, run
Please, hate me now
Towards happiness
Run, run, run, run, run
That I could hold you
That fact alone
But there is no time
-Day6 (Even of  Day), From The Ending of A Tragedy-

***
⚠️18+ Mengandung adegan kekerasan

***
Brian berjalan tergesa-gesa, ia semakin gusar saat melihat Audrey tengah duduk di depan suatu ruangan dengan kepala yang menunduk. "Dre, kalian baik-baik aja, kan?" Brian semakin hancur saat perempuan di depannya mengangkat kepalanya. Air mata Audrey sangat kacau, kedua matanya bengkak. Detik itu juga, Brian sadar semestanya sedang tidak baik-baik saja.

Audrey tersenyum tipis, matanya melirik empat laki-laki yang tengah menunggu jawabannya. Tidak perlu dikatakan, mereka pasti tahu bahwa tidak ada yang sedang baik-baik saja di sini. "Gue baik, Shita juga. Untungnya gue cepet nemuin dia tadi. Sekarang dia lagi pengaruh obat karena keadaannya bener-bener kacau, dia enggak berhenti nangis sampe akhirnya enggak sadar diri."

"Dre, lo yang tenang okay? Kita di sini," ujar Mahesa sembari menepuk pundak Audrey.

"We must. Kata dokter, Shita bisa dijenguk tapi gue masih kacau, jadi enggak kuat lama-lama di dalem. Kalian kalau mau ketemu Shita, masuk aja enggak papa."

Brian menghela nafasnya. "Gue harus ketemu Shita. Lo enggak masalah di luar sendiri? Partha bentar lagi nyampe."

Audrey mengangguk sembari tersenyum. "Gue tahu lo kuat, tolong jangan tinggalin Shita apapun yang terjadi setelah ini."

Brian memejamkan matanya sebelum membuka pintu kamar inap Shita. Kepalanya berkecamuk, ramai bagai stasiun. Melihat Shita terbaring dengan mata tertutup, Brian sedikit lega. Setidaknya perempuannya tidak lagi berteriak dan melukai dirinya seperti yang diceritakan Audrey tadi. Namun, tetap saja khawatirnya tidak bisa ia cegah. Ia mendekat untuk duduk di kursi tepat di sebelah Shita. Tangannya terulur menggenggam tangan Shita. Matanya sendu menatap perban yang melilit rapi pergelangan tangan Shita.

Tatapan sendu itu beralih pada wajah pucat Shita. Bukan hanya Shita yang tengah berjuang, Brian juga tengah berjuang untuk tidak menyalahkan dirinya.

"Bang, gue tahu ini berat banget buat lo tapi gue yakin Shita bakal baik-baik aja."

"Makasih, Wa. Pikiran gue lagi ramai, dunia lagi musuhan sama gue kayanya," Brian tertawa hampa. "Tapi enggak papa, bukannya enggak seru hidup tanpa musuh?"

"Kita di sini, Bri. Lo jangan pikul semuanya sendiri," kata Mahesa.

"Rasanya gue mau peluk lo tapi gue gengsi," ujar Yasa.

"Bang Yasa peluk Dewa aja."

"Najis!"

"Gue yakin kalau Shita sadar lo berdua pasti diketawain. But she doesn't."

Ada masa dimana semesta benar-benar sedang bermusuhan. Tidak mau bersikap baik. Bagi Brian juga begitu, rasanya ia tengah dilempari batu-batu yang membuatnya mau tidak mau melindungi diri dari serangan yang bisa datang kapan saja. Permasalahan mengenai Bundanya belum selesai, lalu ponselnya lagi-lagi membawa kabar buruk. Orang-orang terkasihnya sedang menjadi korban dari perbuatan onar semestanya. Kepalanya ingin pecah, bahkan jika bisa ia ingin melepas pikirannya sesaat. Tidak ada guna pikirannya terpasang kalau terus menerus menghantui dirinya dengan hal-hal buruk. Brian membenci hal itu.

110 : Sweet ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang