A.0

14.9K 1.3K 175
                                    





Udara di pagi hari sungguh menyejukkan, kaki mungilnya menginjak rumput hijau yang basah. Sudah kebiasaan berjalan tanpa menggunakan alas kaki, rasanya menyenangkan bagi si kecil yang telah duduk pada bangku putih yang sudah dikeringkan. Satu jam yang lalu, hujan baru reda. Wajahnya murung karena tidak memiliki kesempatan melihat matahari karena sudah tertutup oleh awan mendung padahal jam baru menunjukkan pukul sembilan.


Jemarinya memegang tiang besi yang selalu menemaninya dan menyentuh sebuah infus tertancap pada punggung tangan. Manik anak itu mengamati kegiatan beberapa pria dan wanita yang memakai pakaian serba putih. Siang dan malam mereka bekerja, memeriksa kemudian memberikan obat. Beberapa anak yang juga menggunakan pakaian sama dengannya digendong oleh ayah maupun ibu untuk jalan-jalan keluar karena bosan di kamar.



Lalu, maniknya menangkap sosok yang tak asing. Pakaiannya berbeda dari yang lain, menggunakan setelan jas hitam dengan celanan warna senada. Surai hitamnya tampak berantakan dan raut wajah lelah tergambar di sana. Namun, si kecil menyunggingkan senyum lebar dengan tangan yang bebas melambai di sana.



"Ayah!" panggilnya.



Lelaki berpawakan tinggi itu melepas jasnya sembari berlari kecil menghampiri anak tersebut. Tubuh mungil yang memanggil Ayah itu diselimuti oleh jas besar hitam di sana dan rasa hangat perlahan menyelimutinya.


"Kenapa keluar, heh? Dingin, Sayang."


Bibir pucat itu melengkung, "Bosan di kamar."



Wajah mungil itu ditangkup, jemari beliau menyilakan surai sang buah hati. Tubuh anak itu dingin karena tak dilindungi oleh jaket sebelumnya, "Jaketnya kenapa tidak dipakai? Ada kan, Nak?"



Senyum si kecil terukir dengan polos, "Tadi Jaem muntah, Ayah, jadi kotor. Maaf ya?"



"Ayah tidak suka kalau Jaemin bilang minta maaf, Ayah lebih suka kalau Jaemin bilang sayang Ayah banyak-banyak."



Keduanya tertawa kecil, lelaki itu duduk kemudian mengangkat tubuh putra lima tahunnya ke pangkuan. Si kecil bersandar pada dada beliau, lengan panjang itu juga memeluknya erat.



"Hari ini kan Minggu, Ayah bekerja?"



Pelukan tersebut dieratkan, si kecil Jaemin mendongak pada beliau yang masih terdiam, "Supaya Ayah terlihat tampan lah, masa Ayah pakai piyama ke sini. Aduh, tidak cool nanti," jawabnya asal.



Putranya tertawa kecil, ia merindukan candaan sang Ayah. Sosok pria yang dikenal oleh orang banyak terlihat keras dan dingin, tetapi bagi Jaemin adalah Ayah yang menyenangkan dan hangat. Bibirnya mengerucut ketika manik anak itu menangkap seorang wanita yang menyuapi sang buah hati. Lagi, ia menoleh pada beliau sembari bertanya, "Ibu tidak jenguk Jaem?"



Sebelum mendapat jawaban, pria itu justru menangkup wajah mungil Jaemin kemudian memberikan kecupan lama pada kening. Senyumnya terukir lebar membuat si kecil juga membalas.



"Jaemin harus sembuh dulu ya," ucap beliau.



"Nanti ke rumah baru Ibu?"


Dan sebuah anggukan dirasa pada puncak kepala Jaemin.



Mereka menikmati waktu bersama sejenak, beberapa hari ini sang Ayah tidak menjenguknya. Selalu saja hanya menghubungi lewat ponsel sang dokter untuk menanyakan kabar.



"Oh, bersama dengan Tuan Yuta, ya?"



Atensi keduanya beralih ketika melihat seorang dokter yang menghampiri mereka. Beliau tersenyum menyapa pasangan ayah dan anak tersebut.



"Dokter Kun, maaf ya. Pasti cari Jaem?" tanya si kecil yang masih bersandar pada dada pria yang bernama Yuta.



Kedatangan dokter tersebut membuat Jaemin harus meninggalkan taman dan dengan dipapah oleh sang Ayah, mereka kembali menuju ke ruang inap. Beberapa perawat menyapa Yuta dan putranya silih berganti. Tidak terasa saja, sudah satu tahun anak itu menjadi pasien di sini, awalnya harus masuk dan keluar dari gedung rumah sakit ini sampai tubuh si kecil tumbang dan harus tinggal.


Lebih nyaman karena sang ayah yang membaringkan tubuhnya, Jaemin menahan jas beliau untuk dipeluk. Selimut hangat membungkusnya, kantuk masih dirasa sampai ia memejamkan mata. Para orang dewasa di sana membiarkan anak itu untuk terlelap sejenak.



Pria berjas putih itu meminta untuk keluar supaya pembicaraan mereka tidak mengganggu Jaemin yang istirahat. Tubuh Yuta membelakangi sang dokter dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana bahannya.



"Masih satu kali chemo ya, Kun?"


"Iya, Hyung."




Helaan napas panjang berhembus, Yuta tanpa melihat lantai kotor mendudukkan diri di sana karena tubuhnya juga lelah. Dua hari ia tidak tidur, pikirannya kacau dan puncak kebahagiaan mungkin melihat putranya sudah jauh lebih baik dari minggu lalu.




"Berat sekali rasanya," lirih pria kelahiran negara Jepang tersebut, ia menatap langit yang perlahan mulai cerah, "Tampaknya aku gagal."




Sebuah sentuhan pada bahu dirasakan, Kun yang telah menjadi dokter putranya tersebut mencoba menenangkan. Lelaki yang lebih muda juga ikut duduk di sampingnya seraya berkata, "Tidak, Hyung."



Yuta terkekeh, ia menoleh dengan mata sayu, "Bagaimana bisa kau mengatakan seperti? Aku sangat tersinggung," katanya.



"Memang tidak," Kun dengan senyumannya menjawab, "Kalau kau gagal, bagaimana Jaemin bisa bertahan sampai sekarang? Ayahnya hebat, dia selalu bilang seperti itu."



Jika menyangkut tentang putranya, Yuta akan percaya seratus persen. Mulut manis Jaemin adalah sebuah kejujuran dan ia bangga memilikinya sebagai darah daging sendiri.



Pandangannya kembali ke depan, menatap tanaman dengan daun yang beberapa sudah kering dan mati. Sangat kontras dengan warna bunga yang warna-warni, bukankah seperti kehidupan? Ada dua masa yang dialami oleh manusia, kelam dan bahagia.



"Istriku pergi, putraku sakit, aku dengan kurang ajarnya justru sehat seperti ini."


"Hyung


— ssutt! Diam! Aku tidak butuh kata-kata penyemangatmu, aku hanya butuh kau dengarkan!" sentak Yuta di sana, aura lelaki keras dan dingin itu muncul, "Aku memang berengsek dulu, istriku saja sampai pergi karena muak. Tapi kenapa hukumannya yang menerima Jaemin? Dia baru empat tahun saat kau mengatakan kanker darah pada tubuhnya! Respon anakku sangat polos dulu," dari amarah, ia terkekeh pelan mengingat pertama kali membawa putranya untuk berobat, "Alat-alat mengerikan itu sudah masuk ke dalam tubuh anakku, obat yang membuatnya selalu tak napsu makan dan mual, tapi masih bisa tersenyum untukku. Rasanya seperti sebuah peluru yang menyerangku berkali-kali lipat!"




Kesedihan-kesedihan selama ini yang dipendam oleh Yuta akhirnya keluar, ia tidak bisa berbagi lagi pada wanita yang sempat menjadi pendamping hidup dan ibu dari buah hatinya.



Namun, tak menyadari bahwa si kecil Jaemin yang tidak jadi tidur itu bisa mendengar dibalik pintu yang terbuka tipis.





Usianya lima tahun, Jaemin menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang sedih karena sakit. Sosok Ayah yang selalu tertawa dan bercanda justru juga merasakannya, hati kecil anak itu seakan berteriak padanya.



"Ayo sembuh! Untuk Ayah!"




Ya, itu janjinya pada diri sendiri.












Sebagai ganti piilossa, semoga angst-nya berhasil.

Amata✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang