Sorry for typo(s)
Pada akhirnya, kenyataan itu datang dan menghancurkan segala perasaan yang ada. Raut wajah para sahabat membuat Jaemin termangu, mereka duduk mendekat dengan tatapan sedih. Apalagi Harchan yang langsung mendekapnya dengan langkah tertatih tanpa kruk, Jeno serta Renjun bungkam tetapi tak sekalipun mengalihkan pandangan.
Kelas itu hening, larut akan perasaan masing-masing. Haechan melepas pelukan dan menatap pemuda Nakamoto di hadapannya dengan sendu, tangannya terangkat mengusap surai hitam Jaemin.
"Kalau takut bersama Ayahmu, nanti aku temani ke rumah sakit."
Pandangan Jaemin tertuju pada Haechan yang menyunggingkan senyum, ia menawarkan diri dengan senang hati.
"Aku ikut, heh!" sambar Jeno di sana.
Seulas senyum terukir di bibir pemuda manis tersebut, ia menoleh pada Renjun kemudian yang masih diam. Ekspresinya sangat mudah dibaca, rahang itu mengeras seakan menahan diri untuk mengatakan sesuatu yang — ya mungkin dengan niat membantu. Namun, yang dibutuhkan Jaemin bukanlah sebuah nasehat, kehadiran para sahabat adalah jalan utama yang harus dilakukan.
Pemuda Huang itu menatap ketiga sahabatnya secara bergantian, Jeno yang menatapnya biasa, Haechan dengan maniknya melotot dan Jaemin mengerucutkan bibir seakan memohon untuk dikabulkan.
"Ya."
"Yang lembut!" rengek Jaemin seraya memukul lengannya.
Dan sebuah senyum terukir dengan anggukkan kepala.
***
Berada di rumah sakit bukanlah hal yang asing bagi Jaemin. Bau obat, suara brankar lewat, sapaan dokter dan perawat tetapi bukanlah sesuatu yang dirindukan. Dengan tiga sahabatnya yang menunggu di luar ruang, ia memasuki ruangan Dokter Spesialis Ankologi yang bernama Kim Doyoung.
Lelaki dengan senyum lebar itu menyambut kedatangan Jaemin di sana, tangannya terulur mempersilakan pemuda itu duduk. Ada sebuah map yang ada di atas meja, tanpa dilihat lebih jelas, ia tahu isi dari tulisan tersebut.
"Bagaimana keadaanmu hari ini, Jaemin?"
Anak itu memberikan senyuman andalannya, "Sehat!"
Sang dokter ikut tertawa kecil, kedua tangannya terlipat di atas meja seraya menatap Jaemin dengan lembut. Keduanya sama-sama tahu bahwa kenyataan buruk yang akan dibahas, tetapi tetap berusaha memulai dengan senyuman karena hanya itulah yang bisa dilakukan bersama.
"Aku juga berdoa untukmu seperti itu."
Kedua alis Jaemin terangkat, tersentuh akan jawaban beliau di sana. Dengan kepalanya tertunduk, pemuda itu tersenyum kecil.
"Jaemin..."
Panggilan tersebut membuatnya mengangkat kepala, manik mereka bertemu. Raut wajah Doyoung berubah membuat yang lebih muda tampak dudup. Bibir keringnya digigit untuk menutupinya.
Beliau mengambil napas kemudian menghembuskannya secara perlahan, mungkin bukan kali pertama ia akan berhadapan dengan pasien karena penyakit yang sama. Namun, tetap saja ada rasa bersalah yang mampir ketika memberi tahu keadaan mereka tentang penyakit yang menggerogoti tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amata✓
Fanfiction"Mati itu pasti, Jaemin." "Kalau aku belum siap?" "Maka berjuanglah untuk hidup." ©piyelur, 2021