Sorry for typo(s)
Pengalaman Jaemin sangat luar biasa sejak usia belia telah divonis dokter mengidap penyakit termasuk paling mematikan di dunia tersebut. Masa kecilnya seakan direnggut begitu saja, kehidupan yang selama ini nyaman dan bahagia di rumah harus berganti di atas ranjang rumah sakit. Jarum-jarum itu telah akrab dengan tubuh si kecil Nakamoto dulu. Tentu saja, ia memiliki rasa takut.
Di kamar pasien, anak berusia empat tahun itu sering sendirian. Kalaupun ada teman, hanya Dokter Kun yang kala itu sedang senggang bahkan mereka juga makan siang bersama. Untuk mengecek keadaan, biasanya Yuta menghubungi melalui ponsel sang dokter kemudian akan diberikan pada Jaemin.
Selama itu, sang ayah benar-benar memberikan fasilitas pengobatan yang ketat bagi Jaemin. Termasuk tidak boleh keluar dari kamar inap untuk mencegah hal yang tidak diinginkan. Bukan obat yang menyiksa anak itu, melainkan kesendirian dengan rasa takut. Namun, si kecil Nakamoto juga tak mau melihat wajah sedih Ayahnya setiap kali bertemu.
Permintaan maaf, janji akan mengobati sampai sembuh, Jaemin tidak bisa melihat kesedihan itu setiap harinya.
Selain bersama dengan Dokter Kun, kegiatan yang disukai Jaemin adalah mengobrol dengan sang ibu melalui panggilan ponsel. Kalau bersangkutan dengan beliau, Ayahnya yang ada di sana sebagai perantara.
Bibir pucat itu akan mengembang, benda pipih tersebut diampit antara telinga dan bantal. Jaemin memilih untuk berbaring dan membelakangi sang ayah yang tengah mengusap punggungnya pelan.
"Ibuuu! Jaem yinduuu!"
"Aigooo, Jaeminie! Ibu juga rindu, Sayang. Sedang apa, Nak?"
"Tidulan, punggung Jaeminie diucap Ayah. Enyak!" kekehnya di sana.
"Sudah makan? Obatnya sudah diminum?"
Bibir anak itu mengerucut, ia tidak menyukai pembahasan sakitnya ini. Jaemin hanya ingin mengobrol biasa untuk mendengar suara ibu, "Cudah," sahutnya dengan lemas.
Hal tersebut membuat Yuta beralih untuk duduk di atas ranjang, mengusap surai sang buah hati dengan tatapan heran karena mendengar nada suara yang berbeda.
"Ibu, lumah balunya bagus ya?"
Tidak ada jawaban langsung di sana, Jaemin menunggu dan melirik pada ayahnya yang juga berhenti mengusap punggungnya.
"Sayang..."
"Ibu, Jaem inin beltemu, tidul belcama Ibu," kepalanya tertunduk meremas kain putih yang menutup ranjang tak nyaman itu, "Nanti kayo Jaem cudah cembuh, Jaem main ke lumah balu Ibu, ya? Boyeh?"
Lagi, tidak ada jawaban. Jaemin justru mendengar suara berisik di sana, teredam oleh sesuatu tetapi hatinya berdesir nyeri. Ia tidak menyukai suara tersebut, pandangan anak itu berbalik pada sang ayah yang sudah berdiri membelakanginya untuk menghadap pada jendela ruangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amata✓
Fanfiction"Mati itu pasti, Jaemin." "Kalau aku belum siap?" "Maka berjuanglah untuk hidup." ©piyelur, 2021