Sorry for typo(s)
Manik itu perlahan terbuka, ruangan putih serta suara yang familiar terdengar, pandangannya menunduk untuk melihat baju rumah sakit yang telah dipakai. Alat-alat pendeteksi tertancap pada dada, selang oksigen pun dirasa membantu untuk bernapas. Hal terakhir yang diingat oleh Jaemin adalah merasakan sesak yang tiba-tiba, diikuti batuk dan kepala pusing. Renjun yang kebetulan duduk satu bangku mendekap tubuhnya dengan teriakan panik. Rasa sakitnya jauh lebih parah saat ia kecil dulu.
Bahkan berada di atas ranjang ini pun masih menyiksanya, seakan tulang-tulang dalam tubuh perlahan patah. Suhu tubuh Jaemin juga berbeda dari biasa yang menandakan keadaannya kali ini semakin parah. Pemuda manis itu menoleh pada sisi kiri, postur tubuh Sungchan sedang meringkuk pada kursi dengan kepala yang menempel di pinggangnya.
Keadaan luar gelap dilihat dari kaca sedangkan sang adik masih menggunakan seragam sekolah sampai tertidur dengan posisi yang mungkin tidak nyaman. Tangan yang tidak diinfus itu terangkat mengusap surai Sungchan di sana dengan senyuman tipis. Ia tahu, anak ini pasti sedang ketakutan dan Jaemin tidak bisa melakukan sesuatu untuk menenangkan karena fakta di depan mata saja sudah terlihat.
Pintu ruangan terbuka membuat cahaya lampu dari luar memantul ke dalam, dilihatnya sosok Jaehyun yang menampilkan ekspresi lega ketika mendapati Jaemin telah sadar. Pria itu menutup pintu secara perlahan, menggunakan kemeja biru muda dengan lengannya yang dilipat sampai siku berjalan mendekat. Tangan itu terulur mengusap surai hitam sang anak dengan tatapan lembut.
"Ada yang sakit? Katakan pada Papa, ya? Yang jujur, Nak," pintanya langsung di sana.
Bibir pucat itu menyunggingkan senyum tipis, "Se-semuanya."
Pria itu mencondongkan tubuh, mengamati wajah sosok yang sudah dianggapnya sebagai putra sendiri. Lembut dan tenang tatapan yang diberikan, tetapi Jaemin merasakan kesedihan yang terpancar.
"Untuk sementara, tidur di rumah sakit dulu ya? Nanti ada pemeriksaan lebih lanjut."
Pandangan Jaemin beralih, menatap keadaan tubuhnya yang lemah di atas ranjang rumah sakit setelah sekian lama. Masih menampilkan senyum terbaiknya, "Aku sudah tahu."
Lalu menatap kembali pada Jaehyun yang nampak tertegun atas jawaban Jaemin, beliau mendekatkan kembali wajahnya untuk mendengar lebih jelas lagi.
"Papa sudah curiga dari awal, kan? Satu hari setelah pertandingan Sungchan, aku periksa ke rumah sakit sendiri. Hasilnya, seperti dugaanku atau mungkin Papa juga. Rasanya jauh lebih sakit dari yang dulu," urai Jaemin dengan lirih.
Setelah mendengar itu, Jaehyun menghela napas panjang dengan tatapan menyesal. Kepalanya tertunduk dalam membuat Jaemin merasa bersalah, tangan dengan selang infus itu terangkat menyentuh lengan beliau. Tindakan yng dilakukannya ini memang tidak benar, perasaannya kacau saat gejala-gejala yang dialami muncul kembali.
Seorang dokter yang seharusnya tegar dan tenang untuk berhadapan dengan seorang pasien, Jaehyun justru terlihat lemah. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya di sana.
"Bagaimana aku mengatakannya pada Ayahmu, Jaemin?"
Kepalanya menggeleng pelan, "Aku saja yang bicara pada Ayah, Pa."
Namun, Jaehyun juga tidak akan membiarkan Jaemin melakukan semua. Ia akan di belakang pemuda manis itu untuk menghadap pada Yuta nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amata✓
Fanfiction"Mati itu pasti, Jaemin." "Kalau aku belum siap?" "Maka berjuanglah untuk hidup." ©piyelur, 2021