A.14

4.3K 683 47
                                    


Sorry for typo(s)




Segala pengobatan telah masuk ke dalam tubuh kurus Jaemin, tetapi yang ada justru membuatnya semakin lemah karena tak ada tanda-tanda ia membaik. Meskipun maniknya terpejam, indera pendengarnya masih berfungsi untuk mendengar luapan amarah sang ayah pada dokter. Anak itu terlalu lelah untuk menghadapi kenyataan.



Mimpi indah bertemu dengan sang ibu adalah pilihannya.



Karena kondisinya memburuk, Jaemin tidak bisa melakukan terapi apapun untuk beberapa minggu ke depan. Dan hal yang menyedihkan lagi adalah tidak boleh keluar dari kamar.



Ketika Jaemin membuka mata, tidak ada seorang pun di dalam kamar. Beberapa saat ia mengamati kamarnya yang sunyi, dari jendela yang tertutup tirai masih terlihat terang. Kepalanya sedikit mendongak pada jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul lima sore.



Perlahan, pemuda manis itu bangun dengan desisan keluar dari bibir pucatnya. Sebelum pukul enam waktu untuk Ayahnya datang, Jaemin ingin keluar sejenak dari kamar ingin menghirup udara luar. Alat pernapasannya dilepas dengan hembusan panjang dari mulut. Kedua kaki itu bergeser untuk turun, lantai dingin menjalar pada telapak itu. Tanpa menggunakan sandal dari rumah sakit, anak itu berjalan sembari mendorong tiang infus.



Tangannya terulur membuka knop pintu dari besi tersebut, refleks Jaemin memejamkan mata ketika merasakan angin dari luar yang begitu dingin. Jemari yang menganggur itu mendekap dadanya.



Pandangan pemuda mengedar pada lorong rumah sakit yang sudah nampak sepi, telinganya menangkap sebuah suara dengkuran dari sisi kiri. Ketika menoleh, sosok anak laki-laki jangkung tengah meringkuk pada kursi besi di depan kamar inap Jaemin. Kedua tangan itu terlipat pada dada sembari bersandar pada dinding.



Sudah berapa minggu Jaemin tidak melihat adiknya tersebut? Tidak ada sapaan ramah, perhatian yang dicurahkan ataupun celotehan.



Dengan senyum tipis, pemuda Nakamoto itu mendekat kemudian duduk di samping Sungchan yang sama sekali tidak terganggu tidurnya. Kepala anak itu tertunduk tidak nyaman membuat Jaemin berinisiatif untuk membenarkan.



Tubuh mereka bersentuhan, Jaemin memegang posisi kepala sang adik kemudian meletakkan pada bahu ringkihnya tersebut. Senyumnya terukir lebar, mengaitkan lengan mereka di sana sembari menatap hamparan rumput hijau di depan kamar inap.



Niatnya, Jaemin ingin mampir ke bangsal anak-anak tetapi tubuhnya dirasa begitu lemah untuk berjalan jauh sehingga ia memilih untuk menikmati angin sore hanya dengan duduk di bangku besi itu.



Sudut mata anak itu menangkap sosok yang mendekat, ekspresi terkejut Jaehyun tergambar di sana sembari berjalan mendekati mereka. Namun, sebelum bersuara jari telunjuk Jaemin terangkat ke depan bibirnya seraya menggelengkan kepala.



Untuk itu, pria bermarga Jung tersebut melepas jas kebanggaan berwarna putih kemudian menyampirkannya pada tubuh kedua putranya.



"Terima kasih, Papa," lirih Jaemin di sana.



Jaemin tahu tatapan yang dilayangkan beliau padanya, tetapi sekarang ia sedang tidak peduli meskipun rasa sakit pada dadanya semakin dirasa. Dan detik itu juga, ia terbatuk sampai membuat Sungchan terbangun dengan tatapan linglung.



Mereka saling berpandangan sejenak, Jaemin melihat mata sang adik yang memerah pertanda bahwa dia kurang tidur.



"Ma-maaf," ucapnya.



Amata✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang