Sorry for typo(s)
Suara yang begitu keras memenuhi ruangan yang gelap, benturan antara bola dengan lantai seakan memekakkan telinga ditambah pula napas yang tersengal-sengal. Satu dua tetes air keringat jatuh, seragam sekolah pun sudah basah di sana. Decitan sepatu menggema dan setelah melempar bola, ring kosong itu dimasuki dengan sempurna. Tak berhenti, anak itu mengambil lagi bola berwarna oranye dari keranjang yang berada di belakangnya. Ia bermain sampai rasanya kaki dan tangan terasa kebas.
Ketika pintu dibuka, tetap tidak bisa menghentikan permainan tersebut. Langkah sepatu menghampiri dan panggilan, "Sungchan," tak membuat anak itu menoleh sedikitpun.
Pemuda Jung tetap mendribble bolanya ke lantai, lebih dari aturan seharusnya sampai ia melempar kembali. Namun, bola lain muncul dari belakang sehingga membuat dua benda itu jatuh tanpa menyentuh ring.
Lagi, tidak ada sahutan. Sungchan berbalik tanpa menoleh pada sosok lain di sana kemudian mengambil bola lagi, tetapi sebuah tangan menghentikannya.
"Kau sudah bermain selama tiga jam tanpa minum."
"Kenapa kau belum pulang, Chenle?" anak itu balik bertanya dengan tenang seraya melepaskan pegangan tangan itu.
Tangannya bergerak memainkan bola lagi, tetapi yang dirasakan justru pandangannya mengabur. Tadi pagi saja belum menyentuh makanan yang disiapkan Papa ke dalam tas. Sungchan terbatuk karena merasakan tenggorokannya yang kering.
Saat ia mencoba untuk melompat, Sungchan juga limbung ke depan. Kedua tangan dan lutut menahan tubuhnya seraya memejamkan mata. Ia menjatuhkan diri di lantai berwarna cokelat, maniknya menatap langit-langit ruangan. Namun, yang terlihat hanya bayangan sang kakak berada di ranjang rumah sakit kemudian berganti menjadi wajah sang ibu ketika meninggal.
Mereka tidak mau hilang, seakan mengingatkan Sungchan bahwa ia akan mengalami rasa sakit itu lagi.
"Ayo pulang, kuantar."
Bukan sebuah jawaban yang diterima Chenle, melainkan tawa kecil yang terdengar pedih. Yang selalu diliatnya selama ini adalah Sungchan — pemuda penuh senyum, semangat dan paling utama adalah tidak mudah menyerah.
Kali ini, Jung Sungchan terlihat rapuh.
"Hubungan kedua orang tuaku dimulai dari sebuah kesalahan, sampai kemudian aku lahir. Hidup bersama dengan Ibuku sebentar bahkan aku sudah lupa suaranya. Jika tidak ada foto di rumah juga aku tidak akan ingat. Ayahku terlalu sedih, malu pada dirinya sendiri dan lebih memilih sibuk dengan pekerjaannya. Mengenaskan ya?" kekehnya sarkas, "Satu-satunya yang kuterima, sesuatu yang berharga dan bukan berasal dari kesalahan melainkan dia korban, sekarang sedang berjuang antara hidup dan mati."
Chenle ikut terduduk di lantai lapangan basket, menyentuh bahu sang sahabat yang sedang kalut. Dibiarkannya Sungchan yang memeluk tangan pemuda berdarah China tersebut sebagai penenang.
Punggung pemuda jangkung itu juga diusap, Chenle berusaha memasang wajah tegas.
"Lupakan apa yang terjadi nanti, sekarang kau harus bangun. Jaemin Hyung tidak butuh air matamu, ia tidak butuh kesedihanmu diperlihatkan. Jaemin Hyung hanya butuh kau kuat dan menerima apapun yang akan terjadi ke depannya. Dan ketika itu terjadi, kau bisa bertahan, dia pasti akan bahagia."
***
Di lain tempat, Yuta mengunjungi sang buah hati di ruang inap. Jemarinya luwes memotong buah apel lalu disuapkan pada Jaemin yang masih berbaring dengan selang pernapasannya. Pasangan anak dan ayah itu saling melempar senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amata✓
Fanfiction"Mati itu pasti, Jaemin." "Kalau aku belum siap?" "Maka berjuanglah untuk hidup." ©piyelur, 2021