Naruto berjalan ke meja makan sembari mengenakan dasinya. Ia sempat menutup hidung karena bau masakan yang sangat menyengat dari dapur yang memang berdekatan dengan meja makan.
"Mah, masak sambel goreng, ya?" tanya Naruto dengan suara yang aneh karena hidungnya ia jepit. Kushina mengangguk saja, saat dilihat lagi, Naruto baru sadar bahwa Kushina mengenakan masker.
"Dih curang, Naru juga mau pake masker, Mah," katanya seraya melepaskan jari dari hidungnya. Membuat aroma menyengat itu sontak masuk dan menusuk hidungnya sehingga membuatnya terbatuk beberapa kali.
"Kamu tuh kan mau sarapan, ngapain malah pake masker." Kushina terkekeh. "Udah sana sarapan di kamar aja biar gak kebauan."
Naruto cemberut, tapi menurut saja dan mulai menyendok nasi gorengnya ke piring. "Tapi kalo Naru mau minta boleh, kan? Buat disimpen aja siapa tau ntar butuh."
Kushina mengangguk. "Ya boleh, ambil aja di kamar Mamah."
"Oke." Naruto nyengir senang. Namun baru saja hendak melangkah, lengan Naruto tiba-tiba saja dicekal oleh Kushina. Naruto mengernyit bingung melihat sorot mata ibunya yang nampak panik.
"Bentar. Mamah lupa naronya di mana. Kamu sarapan aja, nanti maskernya mamah yang cari dulu."
Naruto mengangkat alisnya. "Oke.... Kalo gitu Naru mau ke kamar dulu."
Kushina mengangguk. Naruto meski masih sedikit bingung kembali berjalan menuju kamarnya. Tidak biasanya sang ibu itu melupakan tempat ia menaruh barang pribadinya.
'Tapi ... emang harus sepanik itu, ya?'
***
"Hai, Hinata."
Hinata merutuk, mencoba tidak memandang Naruto yang kini duduk di sebelahnya sambil mesem-mesem tidak jelas. Kenapa juga Bu Kurenai harus menyuruh Naruto duduk bersama Hinata? Sepertinya hari ini memang hari sialnya Hinata.
"Hari ini ... cerah, ya?" Naruto kembali bersuara. "Aku ramal ... kita bakal duduk bareng pas ulhar fisika."
"Ini udah kejadian. Bukan ngeramal namanya," kata Hinata datar.
"HAHAHAHAHAHAHA."
"Naruto?" panggil Bu Kurenai tajam, membuat Naruto hening seketika. "Bisa tenang sedikit?"
"Siap, bisa, Bu." Naruto mengangguk hormat. Sementara Hinata sudah merunduk dalam tak mau ikut-ikutan.
"Jaga sikap sesekali kenapa sih," omel Sasuke yang duduk di belakang Naruto dengan dingin. Bahkan sempat menendang kaki kursi Naruto dari bawah. Naruto mencibir saja.
"Hin," panggil Naruto berbisik kali ini.
"Apa lagi," sahut Hinata sebal. Gadis itu sepertinya sudah mampu mengekspresikan kekesalannya terhadap Naruto kini.
"Lo orangnya pelit jawaban, gak?"
"Pelit banget."
"Sudah kuduga." Naruto mendengus. "Mau taruhan, gak?"
"Hah?" Hinata menoleh tak percaya.
"Fisika mata pelajaran yang paling lo jago, kan?" Naruto melirik Hinata yang tengah menatapnya. "Gimana kalo di ulangan kali ini, yang nilainya lebih tinggi boleh—"
"Itu judi, Naruto." Hinata memotong dengan mata yang sudah melebar.
Naruto menggeleng kuat. "Kan nggak pake uang—"
"Tetep aja jatohnya judi, Naruto." Hinata bersikukuh.
"Yaudah, yaudah. Anggap kompetisi, gimana?"
Hinata tetap menggeleng. "Kalo ada hadiah yang dipertaruhkan, mau apapun kamu nyebutnya, itu tetap judi."
Naruto mendecak. "Kuat banget sih prinsip lo."
Hinata tak menjawab, lebih memilih memerhatikan lembar soal yang baru saja dibagikan Bu Kurenai.
"Tapi," ujar Hinata pelan. "Kalo nilai kamu lebih tinggi, aku rasa aku bisa pertimbangin tawaran kamu di chat soal makan bareng di kafe yang baru buka itu."
Naruto melebarkan matanya tak percaya. "Eh, serius?"
"Ya itu kalo kamu mau," jawab Hinata kemudian merunduk fokus pada soal.
Naruto mengulum bibirnya yang ingin tersenyum. Dengan hati riang mulai membaca soal pertama. Naruto merasa semua rumus berkumpul di kepalanya, tanpa ada satupun yang hilang. Keajaiban macam apa ini?
'Mungkin Tuhan emang pengen gue ngedate sama Hinata. Hehe.'
***
"WOI JANGAN PULANG DULU!!!" Sara memasuki kelas dengan setumpuk kertas di pelukannya. Diikuti Kimimaro di belakangnya yang menenteng dua buah sapu dan sebuah pel-an. Sara menaruh kertas-kertas itu di meja guru kemudian berseru, "Ulangan fisika, nih!"
"ET ET ET ETTT! DUDUK! JANGAN RUSUH!" kata Kimimaro galak saat anak-anak kelasnya hampir mengerubungi meja guru. "Duduk di bangku masing-masing. Hasilnya nanti dibagiin sama Sara."
Naruto mencolek punggung Hinata membuat gadis itu berbalik.
"Gue pede, Hin," kata Naruto menyombongkan diri. "Lo ada yang ngasal, gak? Gue cuma satu."
Hinata mengerjap. "Aku gak ada yang ngasal sama sekali."
Wajah sombong Naruto luntur seketika. Kepercayaan dirinya menguap begitu saja. "Kalo seri gimana, Hin?"
"Kalo seri ya lain kali lagi." Hinata tersenyum simpul lalu kembali menghadap ke depan. Seharusnya Naruto kesal saat ini, karena peluangnya menang sangatlah kecil. Tapi melihat senyum gadis itu barusan, Naruto malah terkena serangan jantung dadakan.
"Baru disenyumin udah gak waras lo," sindir Sasuke. Naruto melirik tajam, meski hanya sesaat karena setelah itu ia kembali memandangi punggung gadis di hadapannya dengan merona.
"Ngapain senyum-senyum sih lo? Kayak orang sinting," kata Sara pedas saat membagikan kertas ulangan milik Naruto.
"Diem deh. Jomblo mana tau rasanya berbunga-bunga karena gebetan."
"Oh, mau banget gue sobek ni kertas?" Sara menarik kembali kertas ulangan itu dengan sewot.
"Et et etttt bercanda! Jangan dong, Sara cantik." Naruto berusaha meraih kertas itu dengan panik.
Sara mendecih. Memberikan kertas itu lalu kembali lanjut berkeliling membagikan kertas yang lainnya. Sementara itu Naruto mengintipi kertas itu harap-harap cemas. Bahunya melemas begitu melihat angka yang tertera di sana.
"Sembilan puluh..."
"Seratus."
Naruto mendongak, entah sejak kapan Hinata sudah berbalik dan menatapnya sambil tersenyum kecil.
"Nilaiku lebih tinggi. Jadi, lain kali aja, ya, Naruto."
Naruto mencebikkan bibirnya. Tapi kemudian pemuda itu tersenyum dengan semangat. "Lain kali pasti gue menang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Be A Healer [Naruto x Hinata] ✔
FanfictionNaruto dan Hinata. Dua murid SMA yang kebetulan berada di kelas yang sama. Dua murid SMA yang sama-sama memendam luka. Dua murid SMA yang saling jatuh cinta. *** "Call me everytime you need to." "I want to be your healer." ** [R13+] ; TW // harsh...