"Alah, anjrit."
Seorang gadis belia dengan rambut coklat pendek mengumpat di depan layar ponselnya. Gadis itu merutuk kesal, yang tak lama kemudian ditegur oleh sang kakak.
"Hus. Udah aku bilang jangan ngomong kasar di depanku, kan?"
"Maaf, kak." Gadis itu menundukkan kepalanya sejenak, tapi tak lama kemudian ia jadi menggerak-gerakkan kakinya dengan sebal. "Tapi temen sekelas aku ini rese banget ah sebel huhu ih."
"Kenapa, sih, Han?" tanya kakaknya sembari menutup buku yang ia baca agar bisa berfokus pada adiknya.
"Masa besok petugas upacara disuruh dateng jam enam kurang lima belas??? Udah gila apa ya. Aku baru bayangin naik motor jam segitu aja udah masuk angin duluan," curhatnya dengan kesal. "Lagian aku kan harus nganterin Kak Hinata huhu gimana dong. Tau gini aku gak nawarin diri jadi pengibar ah kesel."
Sang kakak, Hinata Hyuuga, bergumam pelan. "Aku bisa bareng Kiba, kan?" ujarnya menyebutkan nama temannya sejak kecil.
Adiknya, Hanabi, mencuatkan bibirnya masih tidak rela harus bangun pagi-pagi hanya karena dirinya menjadi petugas upacara di kelas. Tapi karena ini Kiba, Hanabi mengangguk pelan. "Besok aja, ya. Seterusnya tetep sama aku."
Hinata tertawa. "Iya, Han. Lagian Kiba mana mau bangun pagi tiap hari buat nganterin aku. Dia kan tukang ngaret, lima menit sebelum bel masuk baru dateng ke sekolah."
"Good." Hanabi mengacungkan jempolnya. "Btw kalo nanti ada anak kelas yang ngeselin, lapor ke aku, kak. Nanti aku pantau. Kalo dia macem-macem sama kakak..." ujar gadis itu menggantung, dilanjutkan dengan gerakan jempolnya yang seolah memotong lehernya sendiri.
"Iya, iya." Hinata terkekeh. "Gak ada yang rese kok sama aku. Malah gak ada yang peduli sama aku."
Hanabi agak cemberut mendengar itu. Tapi mau bagaimana lagi, mana mungkin kan gadis itu melabrak orang-orang karena tidak mau berteman dengan kakaknya?
"Tapi aku gak papa, kok. Enak malah, damai. Seenggaknya aku nggak di-bully kayak pas di SMP." Hinata menghela napasnya. "Yah, agak gak enak kalo kerja kelompok sih. Untung ada kamu, Han. Kalo gak ada kamu kayaknya aku bakalan dimanfaatin terus deh."
Hanabi tertawa. "Aku gak akan bosen ngancem temen sekelompok kakak kalo mereka berani nyuruh kakak ngerjain tugas sendiri."
"Makasih, ya, Han." Hinata tersenyum tulus pada adiknya. "Aku bener-bener beruntung punya kamu. Aku masih hidup sampe sekarang pun berkat kamu."
"KAK." Wajah Hanabi meredup. "Jangan ngomong kejauhan kayak gitu."
Hinata hanya tersenyum kecil dan meminta maaf.
"Di sekolah kakak ada yang namanya Naruto?"
"Hm?" Hinata yang tengah meminum susu melirik sekilas. "Ada," jawabnya singkat setelah menaruh kembali gelas di meja. Teringat kejadian tidak mengenakkan di hari terakhir ujian waktu itu.
"Kakak kenal?" tanya Hanabi lagi. Hinata mengangguk.
Tentu saja. Siapa yang tidak mengenal Naruto? Meski mereka baru kelas sepuluh--dan besok baru akan resmi menjadi anak kelas sebelas--seantero sekolah sudah mengenal Naruto. Cucu dari kepala sekolah, juara Olimpiade Matematika tingkat nasional, dan punya banyak penggemar perempuan karena wajahnya yang tampan.
Hanya saja, Hinata tidak terlalu menyukainya. Kesan pertama Naruto bagi Hinata sangatlah buruk. Awalnya Hinata tidak terlalu memperhatikan pemuda itu karena mereka tidak pernah berinteraksi sebelumnya, namun setelah hari terakhir ujian itu, Hinata kehilangan respeknya terhadap orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Be A Healer [Naruto x Hinata] ✔
FanfictionNaruto dan Hinata. Dua murid SMA yang kebetulan berada di kelas yang sama. Dua murid SMA yang sama-sama memendam luka. Dua murid SMA yang saling jatuh cinta. *** "Call me everytime you need to." "I want to be your healer." ** [R13+] ; TW // harsh...