16. Rembulan Dan Perasaannya

876 211 71
                                    

.

AGHISA

15. Rembulan dan Perasaannya

- - -

"Kenapa kita disini?"

Adalah pertanyaan Ghisa setelah mobil Anta berhenti.

"Lo bilang gak mau pulang" sahut Anta santai, sedang Ghisa berdecak kesal.

"Ya tapi kenapa kesini?"

Sebenarnya Ghisa sempat curiga sejak mobil masuk ke sebuah perumahan, tapi pikirannya menepisnya. Ah harusnya dia tak terlalu percaya pada cowok ini. Dia menghela nafas pendek, melirik ke arah luar sana. Ghisa sangat tahu tempat ini, rumahnya dulu bersama Mama dan Papa, mungkin sekarang sudah ditempati orang lain. Lalu tak jauh dari sana, lebih tepatnya di samping rumahnya dahulu ada dua orang yang mati matian di hindarinya.

Benar, Antariksa membawanya pada Attaya dan Bella.

"Turun sana" perintah Anta.

Ghisa memberikan tatapan tajamnya. "Mending lo puter balik, dan turunin gue di depan"

Anta menegakkan duduknya, lebih menyerong pada Ghisa yang di sisinya. "Ghis, lo bilang kan kemarin kalau gak punya temen selain mereka. Mungkin sekarang lo punya gue, sebagai temen lo pastinya. Tapi Ghis, yang lo butuhin sekarang itu mereka, bukan gue"

Ghisa memalingkan wajahnya, membuat Anta menghela nafas lalu meraih kedua bahu Ghisa agar kembali menghadapnya. "Hey, dengerin gue. Mereka yang lebih tau lo. Mungkin juga cuman mereka yang bisa dengerin cerita lo. Mereka lebih ngerti lo, Ghisa"

Ghisa menelan ludahnya berat, menyadari jika semua perkataan Anta benar adanya. Mereka berdua yang tau semua cerita Ghisa. Dan jujur hanya pada Attaya dan Bella, Ghisa dapat bercerita dengan nyaman. Bahunya tiba-tiba meluruh masih dengan kedua tangan Anta yang menahannya.

"Gue malu, Ta" katanya sedikit merengek dengan menutupi wajahnya.

Anta terkekeh geli karenanya. Bergerak membawa kedua tangan Ghisa yang menutupi wajahnya penuh. "Tau gak? Katanya sahabat itu orang yang paling tau hal yang memalukan dari kita. Coba deh pikir, hal paling memalukan apa yang pernah lo lakuin dan mereka gak tau?"

Ghisa masih bergeming waktu Anta tersenyum hangat. "Kita tuh udah gak punya rasa malu lagi depan mereka. Jadi gakpapa untuk jadi malu-malu in sekali lagi, Ghis."

Suara rendah milik Anta seolah kembali menghipnotis Ghisa hingga kepalanya mengangguk tanpa sadar. "Beneran gakpapa?"

"Gakpapa"

"Mereka gak akan—"

"Mereka gak bakalan gimana-gimana Ghis, mereka sayang sama lo"

Ghisa mengigit bibir bawahnya, ingin mengatakan sesuatu namun ragu. Dia berdehem kecil, kemudian melirik Anta. "Tapi lo.. temenin turun kan?" cicit Ghisa pada akhirnya yang sontak menimbulkan tawa Anta.

A G H I S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang