AGHISA
18. Andai Saja Bisa
- - -
Hujan turun tiba-tiba sewaktu Ghisa hampir merampungkan lukisannya. Matanya melirik deretan kaca jendela yang mulai terciprati air diluar sana. Ghisa bukannya tak suka hujan, tapi hari ini terlampau sore untuk menunggu angkutan umum. Ah, sepertinya dia harus meminta Attaya menjemputnya.
Berbicara tentang Attaya akhirnya cowok itu memutuskan untuk berani menyerukan rasa sukanya pada Bella. Lucunya dia sampai meminta ijin Ghisa untuk mendekati Bella. Katanya dia meminta ijin sebagai Attaya, sahabat Ghisa dan sebagai cowok yang akan mendekati Bella, sahabatnya. Ghisa sungguhan tergelak waktu itu, kalau bukan Attaya yang benar-benar serius waktu itu mungkin Ghisa akan mengoloknya hingga kini.
Dan yang baru Ghisa sadari hari ini adalah dia yang amat beruntung mempunyai dua orang itu. Terbukti sejak dulu keduanya tak pernah sekalipun meninggalkan Ghisa, meski seiring berjalannya waktu banyak orang yang dikenal keduanya, mereka tetap memilih Ghisa.
Ghisa sudah mengirimi pesan pada Attaya agar menjemputnya sekarang, tapi balasan yang didapatinya membuat ia merasakan firasat kurang baik.
Attaya: Masih di sekolah kan? Oke dijemput ya cantik. Tapi dijemputnya sama pangeran berkuda hitam yaa
Ghisa memilih mengabaikan.
Ia harus segera menyelesaikan lukisannya sebelum Attaya menjemputnya, Ghisa tahu cowok itu pasti mengomel jika harus menunggu Ghisa terlebih dahulu. Belum sampai tahap akhir sentuhannya, pintu di ketuk pelan. Tangannya mengambang di antara kanvas yang hampir penuh.
Setahunya Attaya tak pernah mengetuk pintu setiap menjemputnya disini. Attaya lebih sering menunggu di parkiran dengan melakukan puluhan panggilan pada Ghisa. Firasat yang sejak tadi diabaikannya kini kembali dirasanya. Ghisa memalingkan pandang dengan tanpa sadar pegangan pada kuas nya menguat, matanya melebar bersamaan dengan degup jantung yang mengencang.
Dan itu semua hanya diakibatkan oleh seseorang yang kini bersandar pada palang pintu, melipat kedua tangan nya di dada. Nafasnya tercekat begitu orang itu mengambil langkah pelan. Ghisa baru bisa melihat jelas rambut basahnya saat lelaki itu berdiri di balik kanvas di depan Ghisa.
Ghisa mendongkak, menatap tak percaya sosok yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya semesta benar-benar tak memihaknya. Sebab sejauh ini rasanya dia bisa menjauhkan diri dari pemuda ini. Rasanya dia sudah mengeluarkan segala usaha agar pertemuan seperti ini tak pernah terjadi lagi. Ghisa menelan ludahnya kasar, bersamaan dengan sebuah sapaan didapatnya.
“Hai”
Dari sapaan ringan yang keluar dari mulut itu, Ghisa menyadari usahanya berujung sia-sia.
- - -
KAMU SEDANG MEMBACA
A G H I S A
Teen FictionGhisa bilang pertemuannya dengan Antariksa itu kebetulan yang salah. Sedang menurut Antariksa pertemuannya dengan Ghisa itu takdir Tuhan yang indah.