2. Majapahit----
Suara riuh dan bising itu mengganggu indra pendengaran gadis yang tengah terlelap, ia mengerjapkan kedua matanya pelan. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya.
Ia menggeram tertahan. Tubuhnya terasa remuk, kepalanya pusing dan perut bagian kanannya, terasa ... begitu sakit dan nyeri.
Haura membuka matanya perlahan, yang langsung disambut heboh orang-orang disekitarnya. Mereka seperti lega melihatnya membuka mata, tapi ada yang aneh, ini ... dimana?
Haura mengedarkan pandangannya kesegala penjuru tempat itu, ruangan kecil yang berisi berbagai macam daun yang baunnya begitu menyengat. Kendi-kendi berukuran besar, juga tungku kayu yang masih menyala.
"Syukurlah, akhirnya Nimas bangun. Ini ... ini sungguh keajaiban, kami pikir Nimas tidak akan selamat."
"Saya sangat lega akhirnya Nimas bangun, apa luka-nya masih terasa sakit? Tabib, tolong oleskan ramuan lagi ke lukanya."
"Saya akan segera memberitahu ayah anda, prajurit! Lihat Nimas sudah sadar!"
Haura mengerutkan dahinya dalam. Ia menegakkan tubuhnya, bersandar ke dinding yang terbuat dari bambu itu. Ia masih belum mengerti. Haura menatap kearah tiga orang wanita yang berbicara tadi, mereka kini tengah menangis, kenapa pakaian mereka begitu aneh? Mereka memakai kain sejenis kemben yang dililit sampai keatas dada, membuat bagian bahu mereka terlihat.
Ada kalung kecil dileher, rambutnya disanggul tinggi keatas, dan pakaian mereka semua sama.
"I-ini dimana?" tanya Haura ragu, suaranya sedikit bergetar. Wajahnya masih begitu pucat, ringisan kecil masih keluar dari bibirnya.
"Nimas, hati-hati mari saya ba–"
"Ga-gak usah, gue bisa sendiri kok." Haura menolak cepat bantuan wanita yang berdiri di sampingnya.
Mereka saling pandang, namun tak berani berkata banyak. "Nak, apa kau masih merasa sakit? Perutmu masih terasa nyeri? Biar nanti saya buatkan ramuan yang baru, syukurlah kau masih selamat Bintari," kata pria tua dengan pakaiannya yang serba putih itu, siapa sih dia ustadz? Terlihat jelas kelegaan diwajah tua-nya.
Haura sedikit membuka mulutnya. Mereka ini bicara apa? Kenapa formal sekali? Apa sedang ada pertunjukkan lenong? Tadi ... perasaan ia masih berada disitus kerajaan Majapahit. Dan sekarang kenapa di sini?
Dia mimpi ini pasti.
"Bintari? S-siapa Bintari?"
Mereka menatap Haura dengan tatapan terkejut. "Itu anda Nimas, Bintari Ayu Anindyaswari," sahut wanita disebelahnya.
"Apaan sih! Nama gue Haura! Haura Dadalio bukan Bintari, jangan ganti-ganti nama orang sembarangan deh! Terus apaan lagi Nimas-Nimas kayak dijaman kerajaan aja, alay tau nggak."
Mereka semakin dibuat heran, ada apa ini? Apa tabib salah memberikan ramuan? Atau ini efek ramuannya.
"Terus ini dimana sih? Ren! Renata lo dimana? Gue males nih bercandaan lo yang kek gini! Sini cepet nanti dimarahin Mr. Romeo! Ren!" Haura berteriak-teriak tidak jelas.
"Nimas, saya mohon jangan banyak bergerak nanti luka anda bisa semakin parah."
Haura menepis tangan wanita di sampingnya, "nama gue Haura! Ini dim—" Haura menghentikkan ucapannya, ia menunduk kebawah.
"Loh, loh g-gue pakek baju apaan? Kok kayak gini? Siapa yang berani-berani buka pakaian gue tanpa seijin gue! Lancang banget ya buka-buka baju orang."
Haura bagitu panik. Ia memakai apa? Ia baru sadar ia memakai pakaian sejenis dengan mereka, seperti kemben tapi sedikit berbeda, pakaian yang ia pakai begitu indah dengan corak beragam. Kalung emas besar dilehernya, hiasan dibawah kedua bahunya, hiasa diatas rambutnya yang tergerai serta selendang panjang yang tersampir dipundak kirinya. Apaan lagi mana kalungnya berat banget.
"Tidak, itu adalah pakaian yang Nimas pakai sejak tiga hari lalu saat Nimas tidak sadarkan diri," kata Wanita disebelah kirinya.
"Tidak sadarkan diri? Jangan ngaco deh, tolong kasih tau gue ini dimana?" Haura menatap satu persatu orang yang berdiri di sana.
Mereka hanya diam, ya ... mungkin sedikit terkejut dengan sikap Bintari Anindyaswari yang mereka kenal lemah lembut kini jadi kasar seperti ini. Dan bahasa apa yang dia pakai?
"Jawab!"
"Majapahit, kau tengah berada ruanganku didalam Keraton Majapahit," kata pria dengan pakaian serba putih itu.
Hening.
Hingga sebuah tawa terdengar menggelegar. "Haha ... ngaco ah! Astaga haha kalo kalian mau bercanda yang bener dong, ya kali apa Majapahit? HAHAHA ...." Suara tawa itu terdengar sedikit menyedihkan.
Haura perlahan menghentikkan tawanya. Memandang mereka yang menatapnya serius, gadis itu menggigit bibir bawahnya mulai merasa takut.
"I-ini beneran di Majapahit?" tanya Haura lagi. Yang langsung dibalas anggukan oleh wanita di sampingnya.
"Benar, anda berada di Majapahit, dan anda Bintari Anindyaswari, putri seorang menteri di kerajaan ini an—"
"NGGAK!"
Perkataan wanita itu terhenti saat Haura tiba-tiba membanting sebuah wadah yang terbuat dari besi disebelahnya. Lalu ia segera beranjak dari ranjang bambu itu.
"Nimas,"
"Udah! Aw ... gue gak mau di sini, kalian semua ngaco ngomongnya! Gue mau pulang!" Haura pergi meninggalkan ruangan itu. Berjalan tertatih sembari memegangi perutnya.
Namun baru saja ia keluar dari ruangan itu, matanya terpaku menatap takjub bangunan-bangunan besar dihadapaannya. Haura sedikit berlari keluar dari dalam pintu besar yang dijaga banyak pria bertubuh besar.
Haura terus berlari, kesana kemari namun ... nihil ia malah berputar-putar di aera bangunan itu.
"Nimas Bintari," sapa para wanita dengan pakaian serupa yang berjalan melewatinya.
Haura terus memutari tempat itu hingga ia mulai lelah, tangan Haura bergetar tubuhnya pucat. Lelucon apa ini?
Negri apa ini? Apa ini benar-benar Majapahit?
Tapi bagaimana mungkin, ia berada di Majapahit? Oh ayolah kawan ini sungguh tidak masuk akal. Haura menghentikkan langkanya, bersender di tembok batu-bata besar di sana. Menutup wajah kedua kedua tangan lalu mulai menangis.
"Mama ...." lirih Haura ditengah isakannya.
Ia takut, oke ini memang terlihat luar biasa dan keren. Haura juga pernah berpikir ingin kembali ke masa lalu, tapi itu hanya sekedar khayalan. Bayangnya jika kau diposisinya, sendirian, ditempat asing. Tanpa mengenal siapapun. Dan tidak tau harus berbuat apa.
Haura terus saja menangis, itu terdengar sangat memilukkan. Tubuhnya sudah bergetar hebat saking takutnya. Pikiran buruk mulai berkecamuk dikepalanya.
Bagaimana jika ia tidak bisa kembali?
Hingga Haura merasakan pusing yang mendera begitu hebat dikepalanya. Semua kabur, dan ia terjatuh. Haura harap saat ia kembali membuka mata ini hanyalah mimpi yang tidak nyata.
....
* Btw Nimas itu kayak penyebutan anggota kerajaan gitu, jadi aku pakek panggilan Nimas buat Haura.
Hihi ... next nih, maaf kalo baru bisa dikit lagi nggak bisa mikir nih wkwk.
Jangan lupa ramaikan lapak ini, ajak temen-temen kalian mampir ya hihi. Oh iya Happy New Year.
Jumat,
01 Januari 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Me And Majapahit
FantasyApa yang ada dipikiranmu ketika mendengar nama Majapahit? Hayam Wuruk? Gajah Mada? Sumpah Palapa? Kerajaan Terbesar Di Nusantara? Ini adalah kisah seorang gadis berusia 16 tahun yang baru menginjak bangku kelas dua SMA yang terjebak dimasa lalu, di...