MAM || Chapter Tujuh

867 164 44
                                    

7. Sang Paduka Pangeran

---


Pemuda gagah dan tinggi itu tampak terburu- buru berjalan. Dia hanya mengangguk singkat saat sapaan demi sapaan ditujukkan padanya.
Langkahnya begitu terburu-buru hingga ia seperti setengah berlari, ia lalu memasuki sebuah ruangan besar yang terletak diujung keraton.

"Ibunda memanggilku?" Saat sampai didalam pria itu tampak berbicara pada seorang wanita dihadapannya.

Wanita setengah parubaya itu tampak tengah merangkai sebuah karangan bunga. Dia adalah Prameswati, ya ... orang yang sudah Nertaja anggap seperti ibu-nya. Sahabat masa kecil dari sang penguasa Majapahit, Maharani Tribuwana Tungga Dewi.

Dan pria itu adalah putranya ... Cayapata.

"Kalian bisa tinggalkan aku sendiri," kata Prameswati langsung dibalas anggukan oleh para dayang di sana.

Tanpa menoleh kebelakang wanita itu tetap melanjutkan apa yang ia kerjakan, merangkai bunga. "Iya. Apa semua berjalan lancar?"

"Tentu saja Ibunda. Semua berjalan lancar, aku berjanji acara hari ini tidak akan mengecewakan," kata Cayapata.

Wanita itu tampak menggumam. "Hm, aku harap begitu."

Cukup lama Cayapata menunggu apa yang akan ibunya kata kan padanya. "Apa kau sudah bertemu dengan putri dari Arya Mengkudu?"

Pria tampan itu tampak mengerutkan keningnya. "Putri tuan Arya Mengkudu?"

"Benar, siapa namanya ... ah! Bintari benar Bintari Anindyaswari. Apa kau sudah bertemu dengannya?"

Cukup lama Cayapata menjawab. "Ya ... beberapa hari lalu aku bertemu dengannya, ia membuat keributan di tempat kami berlatih."

Wanita dengan garis angkuh diwajahnya itu tampak terkekeh. "Bukankah itu menarik? Dan bukankah dia begitu cantik putraku? Juga manis seperti ayahnya."

Cayapata tidak mengerti arah pembicaraan Ibunya, jika Nimas Bintari itu cantik apa hubungan hal itu dengannya. Dan sepenting apa hingga Ibunya harus membahas hal ini dengannya.

"Maksud Ibunda? Apa hubungannya denganku?"

Prameswati menghentikkan kegiatannya merangkai bunga. Ia membalikkan badan kearah putra tunggalnya. "Tidak apa, Ibu hanya bertanya bukankah gadis itu sangat cantik." Prameswati berbicara sembari membenahi rambutnya yang berantakan.

Cayapata mulai mengikis jaraknya kearah Ibunya itu. "Maksud Ibunda apa? Aku sungguh tidak mengerti," tanya Cayapata. Ia tau benar sifat Ibunya itu pasti ada sesuatu, tidak biasanya dia membicarakan orang asing apalagi memujinya begitu.

"Tidak anakku. Aku hanya bertanya, apa salahnya jika seorang Ibu bertanya pada anaknya," Prameswati tampak merapikan perhiasan perak yang melekat dibahu putra tunggalnya itu.

"Dan ... bukankah cocok jika dijadikan sebagai seorang istri un—""

"Apa yang Ibunda katakan?" Cayapata tampak terkejut sembari memundurkan langkahnya. Prameswati lalu mengangkat wajahnya yang tadi tengah menunduk memebenahi hiasan dibahu anaknya.

"Kenapa? Ada yang salah dari perkataan Ibu?"

"Bagaimana mungkin, tentu salah. Ibunda lupa? Aku masih berumur tujuh belas tahun. Dan menikah? Aku masih terlalu muda, masih banyak yang belum aku wujudkan termasuk menjadi patih pemimpin Bhayangkara, Ibunda sudah tau itu bukan?" kata Cayapata tidak habis pikir dengan Ibu-nya itu.

Prameswati tersenyum simpul. "Umur tidak menjadi masalah bukan putraku? Banyak sekali pemuda dari Majapahit yang menikah muda bahkan seumuran denganmu. Dan ... bukankah gadis yang Ibu pilihkan untukmu juga sempurna, lagi pula dia juga putri dari Arya Mengkudu—"

Me And Majapahit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang