MAM || Chapter Dua Belas

724 114 37
                                    


12. Penyusup

---


"Maaf Tuan Menteri. Ini wedang Jahenya, perlu hamba bawakan kedalam?"

"Tidak usah, biar aku bawa sendiri."

"Baiklah, hamba mohon undur diri."

Arya Mengkudu mengangguk. Ia membuka pintu besar kamarnya sembari tangan kanannya menenteng ramuan hangat wedang jahe yang biasa ia minum saat selesai merampungkan pekerjaannya.

Ia mulai memasuki ruangan itu, ini sudah tengah malam. Yang dominan hanya suara sunyi di ruangan gelap tersebut. "Mengapa ruangan ini gelap sekali, apa tidak ada yang menyalakkan dimar?"

Ia menaruh gelas yang terbuat dari tanah liat itu ke atas meja. Setidaknya masih ada cahaya dari bulan purnama yang masuk lewat celah-celah jendela. Pria itu segera mencari wadah yang biasa digunakan untuk menerangi ruangan gelap tersebut, ya wadah yang terbuat dari tanah liat dengan sumbu dan api diatasnya.

Lalu ia juga menghidupkan obor yang ditempel di dinding. Setidaknya ruangan ini tak terlalu gelap seperti tadi. Pria tua itu ingin membasuh wajahnya ke tempat mandi, namun langkahnya terhenti mendengar dengkuran halus. Ia mengedarkan pandangannya, menemukan sosok gadis dengan selendang hijau yang tengah tidur diatas ranjang dengan satu kaki menjutai dan satunya ditekuk.

Ia pun menghampirinya. Arya Mengkudu menggeleng pelan.

"Jadi anak ini malah tidur di sini? Padahal tadi aku sudah memintannya untuk kembali ke tempatnya sebelum malam, dan lihat tidurnya. Dia sudah terlihat seperti akan berperang," ujar Arya Mengkudu pelan.

Gadis konyol. Ya ... ia memang kadang merasa aneh dan lucu dengan tingkah putri semata wayangnya ini. Dia berbeda, bukan seperti Bintari bocah kecilnya dulu yang selalu tidak berani menatap matanya. Dan lihat sekarang, saat dia kembali dari Padepokan gadis ini jadi sangat berbeda, menjadi si pembuat onar, ceroboh, selalu banyak omong, seperti dirinya waktu muda dahulu.

Dengan segera Tuan Menteri itu mengangkat tubuh kurus putrinya, membenahi posisi tidurnya. Ia lalu menyelimutinya hingga hanya kepalanya saja yang terlihat. Lihatlah wajah damai dan lugu bocah ini saat sedang tidur. Mengusap pelan pucuk kepala Haura.

Ia ingin menyematkan kecupan singkat dipuncuk kepala Haura. Namun gerakannya terhenti saat bayangan wanita itu tiba-tiba menerobos masuk ke kepalanya.

Sial!

Arya Mengkudu perlahan menarik tangannya dari puncuk kepala Haura. Ia segera bangkit dari posisi duduknya, menghela nafas panjang. Menatap wajah Haura dengan datar.

"Ini ... sungguh membuatku tersiska, mengapa wajahmu harus sangat mirip dengan wanita itu? Ayah ... Ayah menyayangimu Bintari. Ayah sangat menyayangimu, tapi Ayah tidak berdaya terkadang Ayah juga merasakan kebencian terhadapmu. Kau anakku kan? Kau juga anakku kan? Tapi—" Ia tak merampungkan perkataannya.

Pria itu merasa sangat kacau, ia juga selalu hancur melihat gadis ini menangis. Sebagai seorang Ayah dia selalu membuat anaknya ini menangis, dan merasa ia begitu membencinya. Sungguh ia tak bermaksud. Tapi wanita itu, ia sangat membenci wanita itu. Wanita yang pernah memiliki tempat paling istimewa di lubuk hatinya, ibu dari gadis ini.

Tanpa berkata lagi, pria parubaya itu segera menuju ruang mandi. Membasuh dan mengganti pakaiannya, ia lalu duduk di kursi kayu yang langsung menghadap ke pintu. Meminum Wedang Jahe tadi, dan segera berbaring untuk tidur dengan kedua tangan bersidekap diatas dada.

Setidaknya tidur ini bisa mengurangi sedikit lelah dari tubuhnya.

Suasana tengah malam memang sudah biasa menciptakan kesan yang mencekam, biasanya hanya suara-suara hewan malam yang terdengar. Karena para manusia tengah tertidur setelah hari melelahkan yang mereka lewati.

Me And Majapahit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang