MAM || Chapter Tiga

1.1K 191 31
                                    

  3. Bintari Anindyaswari

----


Gadis itu menggeliat dalam tidurnya, ia perlahan membuka matanya pelan. Setelah kesadarannya terkumpul ia langsung merunduk memeriksa pakaiannya.

"Ah, sial!" umpat Haura.

Lihatlah, dia masih memakai pakaian dari antah berantah ini. Haura menyenderkan kepalanya, kini matanya menyapu seluruh ruangan besar tempat ia berada. Berbeda dengan ruangan tadi, ruangan ini begitu besar sangat besar.

Temboknya seperti terbuat dari bata merah, namun ada banyak ukiran indah di sana. Tempat tidur yang tengah Haura tempati juga sangat besar, entah ia tak tau ini terbuat dari apa. Tapi sungguh ini sangat empuk, bahkan begitu lembut.

Ada banyak sekali lilin, ah! Bukan lilin entah lah itu seperti wadah kecil yang berisi sumbu dan juga minyak. Dan diujung sumbu itu terdapat api, benda itu tersebar banyak di dalam tempat itu. Hingga mampu menerangi ruangan gelap tersebut.

Haura beranjak dari tempat tidur, ia tidak bisa bohong ruangan itu memang benar-benar indah, bangunan tinggi dengan tembok-tembok besar, diujung sana ia bisa melihat sebuah pintu megah yang terbuka lebar, dan juga jendela berukuran besar dengan hordeng putih yang menjuntai sampai ke lantai. Kursi-kursi di sini pun tak kalah indah.

Kursi yang dibuat dari kayu dan diukir dengan sedemikian rupa. Perlahan Haura berjalan menuju sebuah cermin besar di pojok ruangan.

Haura berdiri dihadapan cermin itu, diatas meja yang terletak didepan cermin itu juga banyak sekali perhiasa indah yang terbuat dari emas maupun perak, banyak juga bunga mawar di sana.

Gadis itu kini menatap pantulan dirinya di cermin, Haura mengusap pelan wajahnya. Aneh ... ia memang terjebak di negri antah berantah ini, dengan identitas orang lain. Tapi kenapa wajah ini tetap wajahhnya, ini adalah Haura tapi mengapa wajah ini juga Bintari?

Wajahnya tetap sama, ini memang dia. Hanya pakaian dan tempatnya lah yang berbeda. Kenapa wajah si Bintari ini sama sepertinya, dasar peniru!

Gadis itu mengusap wajah ayu-nya menggunakan telapak tangan, wajah putih natural tanpa polesan itu tetap saja terlihat menawan. Haura meraba-raba hidungnya, matanya, alis, dahi, bahkan ia mulai nyengir untuk melihat apa Bintari ini memiliki gigi gingsul. Dan ternyata, iya. Sial!

Apakah ini semacam reinkarnasi?

Iya ... seperti terlahir dikehidupan selanjutnya, ah! Jika benar berarti Haura reinkarnasi Bintari dong? Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, mengenyahkan pikirannya yang mulai melantur tidak jelas.

Reinkarnasi? Cih!

"Permisi, Nimas."

Haura membalikkan tubuhnya, menatap wanita dengan pakain sejenis dengan para wanita yang tadi menemaninya. Oh, apa mereka ini pelayan. Atau biasanya dipanggil dayang.

"Ada apa?"

"Saya hanya ingin memberikan ramuan ini, tabib bilang anda harus meminumnya tepat waktu," kata pelayan itu dengan wajah tertunduk.

Haura hanya membalas dengan anggukan singkat. Lalu pelayan itu menaruh sebuah wadah dari tanah liat yang berisi daun hijau yang sudah dihancurkan itu ke atas meja.

"Eh, tunggu!" cegah Haura saat pelayan itu ingin pergi.

"Em ... apa lo – eh kau tau kenapa Bintari ini terluka dan tidak sadarkan diri?" tanya Haura seperti orang bodoh.

Bayangkan saja jika kau menanyakan soal dirimu sendiri pada orang lain, padahal jelas-jelas dirimu lah yang lebih tau tentang dirimu. Ya ... seperti itu lah.

Me And Majapahit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang